[JAKARTA, MASJIDUNA]—Orde Baru pernah mengangkat seorang menteri agama yang dibesarkan dalam tradisi pesantren namun berorientasi pada pendidikan Barat, yaitu Mukti Ali yang menjabat pada 1971-1978.
Mukti Ali lahir di Cepu, 23 Agustus 1923. Ketika lahir ayahnya memberi nama Boedjono. Ayahnya, Haji Abu Ali seorang muslim taat yang dermawan dan juga pedagang tembakau yang sukses. Seperti ayahnya, Mukti Ali kecil pun dididik dalam tradisi pesantren di kampung halamannya. Usai mengaji di kampung, ayahnya mengirim Mukti Ali ke Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Di sinilah pengetahuan tentang ilmu-ilmu keislaman yang bertitik tumpa pada kitab kuning terus diperdalam.
Di Pesantren Termas Mukti Ali menemukan dua pengalaman hidup yang tak terlupakan yaitu pertama ketika kyai Abdul Hamid memanggilnya dan berniat akan mengangkatnya sebagai anak dan kedua nasihat kyai Dimyati agar mengubur keinginannya memperdalam ilmu tarekat. Selain itu, di Termas pula gaya dan karakter organisasinya dibentuk, yang membentuk kelompok-kelompok kecil untuk menyampaikan ide-ide politik.
Ketika Jepang masuk, Mukti Ali ikut menjadi barisan Hizbullah, sayap militer Masyumi.
Setelah menamatkan pesantren, Mukti Ali masuk ke Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII) di Yogyakarta pada 1947. Di kampus inilah dia bertemu Mas Mansyur, dosen yang mengajarkan Islam dengan wawasan baru. Mukti Ali pun terpesona hingga dia sering sengaja datang ke rumah Mas Mansyur, tokoh Muhammdiyah itu. Di sinilah Mukti Ali makin dekat dengan Muhammadiyah, hingga membawanya pada pengembaraan intelektual dari Mekah, Karachi hingga ke Montreal di Kanada.
Usai menempuh pendidikan Sastra Arab di Universitas Karachi, Pakistan, Mukti Ali lanjut ke McGill University di Kanada hingga meraih Ph.D.
Di McGill, Mukti Ali berkenalan dengan peneliti Islam kelas dunia seperti Wilfrede C. Smith. Pandangan keagamaan Mukti Ali pun berubah. Dia mengaku selama kuliah di McGill dia mendapatkan pengajaran Islam yang sistematis, rasional, dan istilah dia sendiri: holistik.
Balik ke Indonesia, Mukti Ali mengajar di IAIN Jogjakarta. Usai pemilu, pada 11 September 1971 dia dilantik menjadi menteri agama. Ia menggantikan KH Achmad Dahlan. Penunjukan Mukti Ali banyak disebut sebagai upaya restrukturisasi dan reorganisasi Kementerian Agama di bawah Orde Baru. Dengan keahliannya dalam bidang agama dan kemampuannya di forum-forum internasional, dia dianggap figur yang tepat. Lalu pada 18 Maret 1973, setahun setelah berlangsungnya pemilu pertama di masa Orde Baru, ia kembali dikukuhkan sebagai menteri agama dalam kabinet pembangunan II.
Karir Mukti Ali ke pos kementerian agama bukan berawal dari politik, tapi dunia akademik.
Tugasnya di Kementerian Agama memang menjembatani kelompok Islam dan pemerintah, yang kala itu masih tersimpan saling curiga. Kelompok Islam mencurigai bahwa Orde Baru akan membawa angin sekulerisme dan meninggalkan Islam.
Salah satu jawaban yang diberikan Mukti Ali adalah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975, kemudian surat keputusan bersama (SKB) nomor 19 tahun 1977 mengenai Pengembangan Tilawatil Quran, menyelenggarakan Lomba MTQ tingkat nasional yang diadakan tahunan. Tidak heran bila menteri agama yang banyak menulis buku ini behasil menjadi “juru bicara pemerintah berhadapan dengan kelompok Islam”. (IMF, foto: tirto.id)