[JAKARTA, MASJIDUNA]—Pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, Minggu (20/10/2019) di Komplek Parlemen, merupakan hari bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut Joko Widodo dan Ma’ruf Amin diambil sumpah sebagai presiden dan wakil presiden. Dari semua rangkaian prosesi hari tersebut, memang pengambilan sumpah-lah yang paling utama dan paling sakral. Tanpa sumpah, tidak ada pelantikan.
Tata cara pelantikan presiden dan wakil presiden diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada Bab XIII Pasal 161, Pasal 162, dan Pasal 163.
Pasal 163 memuat sumpah yang harus diucapkan Presiden dan Wakil Presiden saat pelantikan, yaitu berikut ini. Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UndangUndang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Janji Presiden (Wakil Presiden): “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Kata “Demi Allah” dalam sumpah tersebut bukan tanpa sebab. Tapi punya makna ikatan spiritual yang kuat. Sebab, dalam pengertian syariat, sumpah punya arti “tahqiq al-amr au ta’kuduhu bizikir ismi Allah Ta’ala au sifatin min sifatihi.” (Menahkikan sesuatu atau menguatkannya dengana menyebut nama Allah atau salah satu dari sifat-Nya).
Karena itu, kalimat sumpah dalam Islam harus menggunakan huruf sumpah (al-qasam) yaitu wa, ba dan ta seperti walahi (demi Allah), billahi (demi Alah) dan tallahi (demi Allah).
Dalam “Panduan Sumpah Keagamaan” yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama pada 2013 disebutkan bahwa dibedakan antara sumpah dengan janji. Sumpah itu harus didahului dengan ucapan “Demi Allah” dan yang sebangsanya, sedangkan janji tidak mesti demikian.
Di Indonesia, sumpah presiden hingga pejabat selain mengucapkan kata “demi Allah” juga disertai mengangkat Al-quran di atas kepala. Ternyata, tidak ada ketentuan soal ini, namun juga tidak ditemukan adanya larangan. Namun dalam Panduan Sumpah Keagamaan tersebut, juga dijelaskan bahwa pada zaman dahulu tentara mesir akan meletakan tangan di atas Al-quran sebelum pergi berperang.
Meski tidak ada dalil soal tentang mengangkat quran, namun dengan adanya mushaf tersebut akan menambah suasana penyumpahan menjadi khidmat dan lebih memberi tekanan kepada yang bersumpah untuk lebih mentaati apa yang disumpahkannya. Barangkali itu yang dianggap “istihsan” oleh Imam Syafei, yang membenarkan bersumpah
di atas mushaf.
Hal tersebut dapat diikuti dengan pengertian bahwa adanya Al qur’an dalam upacara tersebut bukan hanya dianggap sebagai benda mati, tetapi menganggapnya suatu yang mulia yang akan mengingatkan orang yang bersumpah kepada yang terkandung dalam Quran.
Sejarah pengangkatan para raja-raja Islam di Nusantara pun, biasanya dengan mengangkat Quran.
Islam juga memberi bimbingan kepada para pejabat atau kepala negara yang bersumpah, agar tidak berlebihan dalama bersumpah. Sumpah hendaknya dibatasi kepada hal-hal suasana yang dianggap lebih memerlukan untuk itu. Terlalu berlebihan atau royal dalam penggunaan sumpah, atau dipergunakan tidak pada tempatnya, maka hukum melaksanakan sumpah seperti tersebut jatuh kepada makruh.
Hal tersebut didasarkan kepada firman Allah dalam surat
Qalam ayat 10. “Janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina.“
Ayat tersebut mencela orang yang banyak dan berkelebihan dalam
bersumpah. (IMF, foto: idnews)