[JAKARTA, MASJIDUNA]—Nama pemikir Islam asal Pakistan Muhammad Iqbal di Indonesia sudah dikenal sejak lama. Hal itu bisa dilihat dari kumpulan puisi dan pemikirannya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sejak akhir tahun 1960-an.
Sastrawan Hartojo Andangjaya, misalnya, salah satu yang pernah menerjemahkan “Javid Nama” sebagai karya yang dianggap masterpiece dari Iqbal.
Menurut Guru Besar Uhamka Prof.Dr. Yunan Yusuf, pada tahun 1974 bertempat di Taman Ismail Marzuki pernah diadakan peringatan 100 Tahun Iqbal, yang menghadirkan penulis Bahrum Rangkuti, yang juga menerjemahkan karya-karya Iqbal. Namun, Bahrum belum menerjemahkan “Javid Nama”.
Nah, seorang mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia Muhamad Sadikin justeru yang berinisitaif menerjemahkannya. “Kala itu, saya juga ikut kuliah filsafat di Universitas Pancasila,” katanya saat berbincang dengan MASJIDUNA, Jumat (13/9/2019). Di sanalah Sadikin mulai tertarik pada puisi-puisi Iqbal. Kala itu, “Javid Nama” sudah beredar di Indonesia namun berbahasa Inggris.
Sadikin mengenang, saat kuliah di Prancis dia masuk ke toko buku dan menemukan Javid Nama dalam bahas Prancis yang diberi judul “Le Livre de l’eternite” (kitab Keabadian), yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke Bahasa Prancis oleh Eva Meyerovitch dan Mohammad Mokri.
Versi Bahasa Inggris yang banyak beredar adalah terjemahan dari A.J. Arberry yang menerjemahkan langsung dari Bahasa Parsi. A.J. Arberry memang dikenal sebagai penerjemah dan ahli masalah tasawuf dan pemikiran Islam klasik. Sementara untuk yang berbahasa Jerman diterjemahkan oleh Annemarie Schimmel.
Menurut Sadikin, terjemahan dalam bahasa Prancis lebih enak dia baca. “Saya terjemahkan pelan-pelan, selama setahun.” ujarnya. Sepulangya ke tanah air, barulah dia bawa ke penerbit Panji Masyarakat. Rupanya, penerbit milik keluarga Buya Hamka itu setuju menerjemahkan “Javid Nama”.
Terjemahan dari Sadikin terbilang yang paling banyak dikutip dan dijadikan rujukan hingga sekarang.
Namun, satu hal yang dia sesalkan saat ini kenangan dan apresiasi dunia muslim terhadap Iqbal makin menurun. Hal itu terlihat dari acara diskusi atau peringatan hari lahirnya. Seingatnya, perayaan Iqbal hanya dua kali, pada 1974 yang menyedot perhatian publik lalu pada tahun 80-an, yang juga masih lumayan. Sementara saat diskusi Iqbal di Taman Ismail Marzuki pada Jumat, 13 September 2019, peminat dan peserta bisa dihitung jari.
Padahal sumbangan Iqbal terhadap dunia Islam sangatlah besar. Pemikiran dan puisi-puisinya membangkitkan semangat Islam untuk menjadi pemimpin peradaban dunia. (IMF)