Al Washliyah Minta Definisi “Santri” Diperbaiki

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Panja Rancangan Undang-undang (RUU) Pesantren telah mengundang sejumlah ormas Islam untuk dimintai masukan pada Selasa (27/8/2019) di Komisi VIII DPR. Salah satu ormas yang diundang adalah Al Jam’iyatul Washliyah atau Al Washliyah yang berbasis di Sumatera Utara.

Ketua PP Washliyah bidang pendidikan Helfian Lubis secara umum tak mempersoalkan isi RUU tersebut. Namun memberikan catatan terkait definisi “santri” dan kriteria pondok pesantren. Dalam RUU disebutkan bahwa pondok pesantren memiliki lima kriteria, yaitu memiliki kyai, santri, kajian kitab kuning, masjid dan mondok. Definisi santri dalam RUU pesantren pun bermakna harus mondok yaitu tinggal atau menginap di pesantren selama menempuh pendidikan.

Tapi Al Washilyah memiliki tradisi tersendiri. “Al Washliyah yang berdiri di Sumatera Utara, tidak ada tradisi mengantar anaknya ke pondok. Sejak awal Al Washilyah mendirikan diniyah,” kata Helfian. Sehingga makna “mondok” menjadi tidak berlaku bagi Al Washilyah yang berdiri pada tahun 1930 itu. Karena siswa Al Washliyah masuk ke diniyah. Diniyah Al Washilyah berdiri pada 1932.

Menurut Helfian, hal itu karena berdasarkan tradisi dalam belajar agama yang berbeda. Mondok, katanya, berlaku umum di pesantren-pesantren di Pulau Jawa. Meski pun di Sumatera Utara ada Pondok Pesantren di Purba Baru.

Karena itu, dia minta agar jangan sampai definisi ini meninggalkan Washliyah yang juga turut menandatangani penetapan Hari Santri 22 Oktober.

“Kami ikut tandatangan penetapan hari santri, maka mohon kami jangan ditinggalkan,”katanya. (IMF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *