Mengenal Tradisi Lokal di Masjid Suriansyah, Banjarmasin

[BANJARMASIN, MASJIDUNA]  — Bagi Anda yang melancong ke Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan, tak ada salahnya melipir ke Masjid Suriansyah atau biasa dikenal Masjid Kuin. Masjid Suriansyah merupakan salah satu masjid penuh sejarah. Berdiri di era pemerintahan Sultan Suriansyah -1526-1550-, adalah Raja Bandar pertama yang memeluk Islam.

Bercorak hijau menjadi warna mayoritas itu masjid.  Masjid Surinsyah amatlah mahsyur di Banjarmasjid. Jarak masjid dengan komplek Sultan Surinsyah sekamir 500 meter, bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Sebagaimana dikutip dari laman Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Masjid Suriansyah menjadi satu dari tiga masjid tertuang di Banjarmasin di era Mufti Jamaluddin. Dua masjid lainnya adalah Masjid Besar -cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin- dan Masjid Basirih.

Masjid Suriansyah bagi Ditjen Bimas Isla, menjadi peninggalan sejarah ini sangat kental arsitektur tradisional Banjar dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Seperti pada  bagian mihrab masjid, memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk. Sedangkan mimbarnya terdapat kain warna putih yang menjuntai seperti untuk melindungi dari kotoran.

Bangunan masjid nampak seperti  masih asli sebagai tinggalan beberapa ratus tahun silam, meskipun beberapa kali mengalami perbaikan karena dimakan usia. Pada Masjid Suriansyah yang paling menonjol atas keslaslian masjid ini ada pada 4 (empat) tiang utama dalam masjid dan keberadaan mimbar yang benar-benar menjadi kekhasan sebagai situs bersejarah.

Bagian menarik lainnya, selain dari tipologi arsitekturnya, masjid ini melaksanakan tradisi lokal tahunan unik pada setiap Maulid Nabi Muhammad saw yang disebut tradisi Ba’ayun. Tradisi ini merupakan bentuk dari peringatan maulid Nabi saw dengan menyertakan bayi-bayi mulai usia 5 hari dari masyarakat sekitar.

Para bayi yang diikutkan ditaruh di ayunan massal sekitar masjid sambil dibacakan barzanji/dzibai oleh Tim Khusus yang diiringi dengan rebana khas Banjar. Jumlah peserta bisa mencapai 2000 hingga 3000 orang.

Menurut wakil sekretaris pengurus masjid, Adriandi, mengatakan tak saja bayi-bayi yang ikut didoakan, tetapi beberapa orang tua juga ikut. Hanya saja mereka tidak menggunakan ayunan. Bagi keluarga yang ingin mengikuti tradisi ini, mereka diwajibkan mendaftar kepada panitia dengan membayar sejumlah uang untuk kepentingan perayaan itu. Jika ada sisa dananya akan diserahkan kepada pengurus masjid untuk kepentingan pengembangan masjid.

Sebelum kegiatan berlangsung, panitia menyiapkan semacam kayu-kayu sebagai tiang yang dihubungkan dengan bambu-bambu untuk membuat ayunan massal buat bayi-bayi yang akan diikutkan dalam tradisi Ba’ayun. Para peserta juga membawa makanan sendiri-sendiri dari rumah masing-masing untuk dimakan bersama-sama, semacam potlak. 

Dalam sejarahnya, tradisi Ba’ayun sesungguhnya semacam aqiqah bagi bayi yang baru lahir. Namun untuk memeriahkan tradisi maulid Nabi yang sudah mentradisi sejak awal, maka pengurus masjid mengadakan doa bersama bagi bayi-bayi dengan pembacaan risalah barzanji atau dzibaiyyah yang biasa dibacakan oleh muslim Banjar pada setiap malam Jumat.

Tujuan dari tradisi Ba’ayun adalah membangun kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya anak-anak (bayi-bayi) mereka dididik sesuai dengan tuntunan nabi. Nabi Muhammad adalah role model manusia seutuhnya bagi umat Islam yang perlu diteladani bagi generasi muda. Sebagaimana diketahui, muslim Banjar dikenal memegang teguh tradisi ‘tuha’ atau kebiasaan orang-orang dulu yang sudah dilaksanakan sejak beberapa abad lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *