Koin Mata Uang Piagam Jakarta dan UUD 1945

[JAKARTA, MASJIDUNA] – Setiap peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, sejarah penyusunan konstitusi kerap menjadi perbincangan. Tak terkecuali mengenai polemik keberadaan Piagam Jakarta yang dihasilkan pada 22 Juni 1945. Padahal, Piagam Jakarta dan konstitusi ibarat koin mata uang, keduanya tidak bisa dipisahkan.

Embrio keberadaan Pembukaan UUD 1945 tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Piagam Jakarta yang dihasilkan oleh sembilan tokoh pada 22 Juni 1945. Kesembilan tokoh yang terlibat dalam penyusunan Piagam Jakarta yakni Soekarno, M Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdukahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim dan M Yamin.

Jika membandingkan rumusan Piagam Jakarta dengan Pembukaan UUD 1945 yang berlaku, terdapat dua frasa yang berbeda, semuanya terletak di alinea keempat. Di dalam Piagam Jakarta tertulis “…Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia,…”. Sedangkan dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 yang berlaku, “Hukum Dasar Negara Indoesia” diubah menjadi “Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”.

Perbedaan kedua, yang sering publik ketahui soal tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam rumusan UUD 1945, tujuh kata tersebut dihapus. Selebihnya, teks Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD 1945 sama. “Lagi pula yang tidak dicantumkan itu, yaitu Piagam Jakarta, dibandingkan secara keseluruhan adalah paling tinggi hanya 5-10% saja,” tulis Moch Tolchah Mansoer sebagaimana dikutip MASJIDUNA dalam bukunya “Teks Resmi dan Beberapa Soal Tentang UUD 1945” Terbitan Alumni Tahun 1983.

Apalagi, tulis Tolchah, khusus terhadap Islam, setelah ketetapan MPRS No XX Tahun 1966, mempunyai kedudukan yang lebih konkret karena terdapat dalam memorandum DPRD GR di angka 1/3/B diktum b yang berbunyi, “Penyusunan UUD 1945 sesungguhnya dilandasi Jiwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945, sedangkan Piagam Jakarta itu dilandasi pula oleh Jiwa Pidati Bung Karno 1 Juni 1945, yang kini terkenal sebagai Pidato Lahirnya Pancasila,” demikian bunyi Tap MPRS No XX/MPRS/1966.

Tolchah berpendapat Pembukaan UUD 1945 yang saat ini berlaku, paska amandemen pembukaan UUD 1945 tidak mengalami perubahan, juga merupakan “Piagam Jakarta” dengan sedikit perubahak redaksionil dan minus kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. “Kenapa saya perlu saya kemukakan, seoalah-olah Piagam Jakarta itu belum masuk dalam undang-undang dasar,” tulis Tolchach.

Jika pemahaman ini terus dikembangkan, menurut Tolchah, sejumlah tokoh Islam yang terlibat dalam penyusunan Piagam Jakarta seperti KH Wachid Hasjim, Agsu Salim, Kahar Muzakir, Abikusno Tjokrosujoso, Subardjo seolah tidak memiliki andil dalam proses kemerdekaan. “Artinya, wakil-wakil umat Islam bahkan yang berarti umat Islam Indonesia seolah-olah tidak mempunyai peranan sama sekali di dalam kemerdekaan Indonesia ini,” tegas pendiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) ini.

Pengakuan terhadap Piagam Jakarta juga disebutkan dalam Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang ditandatangani Presiden Soekarno melalui Kepres No 150 Tahun 1959 di bagian konsideran disebutkan “Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Juni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”, demikian bunyi Dekrit Presiden, 5 Juli 1959.

Terkait penyebutan istilah “Piagam Jakarta” secara resmi baru muncul melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dipertegas kembali dalam Memorandum DPR GR 9 Juni 1966 yang kemudian menjadi Tap MPRS No XX/MPRS/1966. [FAR]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *