Masjid ‘Kuning’ di Pulau Penyengat

Tempat ibadah yang dibangun di era Kerajaan Riau-Lingga itu bagian dalam hanya mampu menampung 400 jamaah.

Masjiduna.com, Tanjung Pinang–  Berkunjung ke pulau tanjung pinang, rasa-rasanya tak lengkap bila tak menyeberang ke daratan sebelah, Pulau Penyengat.  Warna kuning ‘menyengat’ mata ketika wisatawan turun dari kapal di dermaga. Dua menara masjid  berukuran enam meter itu bertengger dari kejauhan, nampak terlihat gamblang. Adalah Masjid Sultan Riau

Daya tarik tersendiri bagi pulau penyengat, selain sejarahnya juga Masjid Sultan Riau, Kuning menjadi  warna pilihan. Nyaris seluruh badan masjid dibalut dengan warna kuning. Masjid tua  yang kini masih terus digunakan juga menjadi cagar budaya. Menjadi satu-satunya masjid di Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang Provinsi Kepulauan Riau.

Keunikan dari Masjid Sultan Riau, konon salah satu campuran bahan bangunan yang digunakan menggunakan putih telur. Bila anda hendak memasuki masjid, pengunjung mesti menaki anak tangga. Memang kondisi masjid tidak sejajar dengan kondisi jalan raya.

Di  bagian halaman depan masjid, terdapat dua balai yang menyerupai rumah panggung tak berdinding itu, sebelumnya digunakan sebagai tempat menunggu waktu sholat dan berbuka puasa.

Masjid bagian dalam hanya mampu menampung jamaah tak lebih dari 400 orang. Sedangkan di bagian halaman masjid daya tampungnya lebih besar kapasitasnya dari bagian dalam masjid.  Hal itu dibenarkan marbot Masjid Sultan Riau. “Hanya menampung jamaah di dalam masjid 400 orang. Kalau di luar lebih,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Sedangkan di bagian sisi kanan dan kiri terdapat tempat wudhu bagi pengunjung dan jamaah yang hendak berwudhu untuk melaksanakan sholat. Di bagian halaman belakang masjid, terdapat sejumlah makam tertata dengan rapi. Saat kabarmasjid.com berkunjung ke Pulau Penyengat, nampak terlihat masjid yang terus dilakukan perbaikan oleh pihak pengelola. Masjid yang dibangun mulai sekamir 1761 – 1812, awalnya hanya berupa bangunan kayu berlantai batu bata.

“Atas inisiatif Raja Abdurrahman, kemudian dibangun seperti ini,” ujarnya.

Masjid peninggalan di era Kerajaan Riau-Lingga itu kini masih tetap berdiri tegak. Sejumlah benda-benda sejarah relijius menjadi penanda peninggalan kerajaan di masa lampau. Misalnya ketika memasuki pintu utama, terdapat mushaf Al-Quran bertuliskan tangan yang diletakan di dalam peti kaca.

Mushaf yang ditulis tangan oleh Abdurahman Stambul, merupakan putera Riau asli Pulau Penyengat yang pulang setelah belajar dari negara Turki, 1876 silam. Sebanyak tujuh pintu dan enam jendela menjadi bagian dari badan masjid satu-satunya di Pulau Penyengat.  [hdt]

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *