Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dan Moderasi Beragama Sejak dalam Pikiran

Foto: Dokumen Pribadi

Oleh: Faried Wijdan Al-Jufri (Alumnus MAPK Solo)

15 Juli 2023 menjadi momentum penting bagi MAPK Surakarta (Solo). Sekolah unggulan Kementerian Agama RI ini menggelar miladnya yang ke-33. MAPK Solo dan beberapa MAPK lainnya, seperti MAPK Jember, MAPK Yogyakarta, MAPK Padang Panjang, MAPK Makassar, MAPK Ciamis dan lain-lain telah melampaui fase sejarah lebih dari tiga dasawarsa. Sekolah percontohan kebanggaan Kementerian Agama RI ini sudah melahirkan puluhan Profesor, ratusan Doktor dan Magister, terutama dalam bidang studi Islam. Peran dan kiprah alumninya sudah terbukti di berbagai sektor, baik politik, ekonomi, budaya dan sosial. Apalagi dalam bidang keagamaan, seperti guru madrasah, kiai kampung dan kota, dosen dan pejabat berpengaruh di lingkungan PTKIN. Sudah tak terhitung, melimpah dan ‘panen raya’!

“Madrasah plus” berkurikulum “plus-plus” yang mengajarkan keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan, merupakan legasi brilian Menteri Agama Munawir Sjadzali, santri diplomat dan birokrat, yang membantu Presiden Soeharto (1983-1993). Pesantren negeri ini bisa dianggap sebagai satu legasi positif pemerintah Orde Baru untuk bangsa, khususnya umat Islam, berupa lahirnya pusat-pusat keunggulan (centers of excellency) pada dekade 1980-an. Sebagai penganut mazhab pembangunan dan stabilitas politik dan keamanan, Soeharto menyadari pentingnya pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, beriman, dan bertakwa untuk menyongsong era tinggal landas pada milenium baru.

Di lingkungan Kemenhankam, LB Moerdani pernah mencetuskan perlunya sekolah unggulan semi militer di pendopo Tamansiswa Yogyakarta pada tahun 1985 dan gagasan tersebut baru diwujudkan dengan pendirian SMA Taruna Nusantara di Magelang yang diresmikan Panglima ABRI Tri Soetrisno pada tahun 1990. Untuk sekolah agama, madrasah unggulan didirikan pada 1987 di 14 daerah di Indonesia oleh Departemen Agama.

Avant Garde Pengarusutamaan Moderasi Beragama

Dalam refleksi kritis Syadzali, MAPK diharapkan bisa menjadi ‘akar tunjang’ bagi pendidikan dan juga keberadaan Islam di Indonesia. Jika pesantren tradisional dikenal fasih dalam mengkaji dan mendalami kitab kuning (tradisi pengetahuan Islam klasik) tetapi gagap dalam penguasaan bahasa dan literatur Islam modern, Munawir Sadzali, cendekiawab jebolan Pesantren Mambaul Ulum Surakarta ini melakukan ijtihad kreatif,dengan mengawinkan dua khazanah pendidikan Pesantren dan Sekolah Agama negeri MAPK. Pak Harto merestui dan mendanai proyek prestisius ini. Dalam sigi Robert Hefner (Civil Islam, 2000) Andrée Feillard dan Remy Madinier (La Fin de l’innocence, 2007) dan sarjana lainnya menganggap Soeharto berjasa besar pada islamisasi masyarakat Indonesia, terutama dengan menerapkan mata pelajaran agama di sekolah negeri dan reformasi atau modernisasi sistem pendidikan madrasah, termasuk MAPK salah satunya.

Siswa-siswi MAPK dibina dan dikader dalam sistem pendidikan “jalan tengah” antara tradisional dan modern, telah berkontribusi besar bagi perkembangan wacana dan pemikiran Islam di perguruan tinggi Islam di seluruh Indonesia. Hampir tidak ada satu pun UIN, IAIN, atau STAIN yang tidak ada alumni MAPK-nya. Bahkan, mahasiswa S2 dan S3 di luar negeri yang berasal dari perguruan tinggi Islam, sebagian besarnya berasal dari MAPK dalam dua dekade terakhir.

Banyak alumni (sebagian besarnya) menjadi birokrat dan abdi negara di bawah Kementerian Agama, yang berperan sebagai think tank yang fasih menangkal ideologi-ideologi keagamaan yang tidak senafas dan sebangun dengan Islam yang ramah. Dalam barisan alumni MAPK berkumpul barisan kaum ulama-intelektual yang menjaga nilai Islam yang rahmatan lil’ alamin di NKRI tercinta ini.

Penguatan Moderasi Beragama masuk dalam RPJMN 2020-2024. Moderasi beragama bermaksud menginternalisasikan nilai-nilai esensial agama. Agama seharusnya menjadi landasan spritual, moral, dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Moderasi beragama terejawantahkan dalam sikap, dan praktek beragama dalam kehidupan bersama dengan menjalankan esensi agama: melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip: adil, berimbang, menaati konsitusi sebagai kesepatakan berbangsa.

Dalam moderasi beragama dikenal 5 (lima) prinsip dasar yang harus dipedomani oleh setiap pemeluk agama, yakni martabat kemanusiaan, kemaslahatan umat (bonum commune), keadilan, keberimbangan, dan ketaatan pada konstitusi. Selain lima prinsip juga dikenal 4 (empat) indikator dari Moderasi Beragama, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghargaan terhadap tradisi.

Ada dua hal yang menjadi prinsip dan ciri moderasi beragama yang pada hakikatnya merupakan ajaran agama itu sendiri. Pertama adalah adil yakni harus melihat secara adil dua kutub yang ada dan kedua adalah berimbang dalam melihat persoalan yang ada. Artinya memahami teks harus sesuai dengan konteks, memahami konteks harus sesuai dengan teks. Kedua, menjaga martabat kemanusiaan sebagai inti dari beragama. Jadi, jika ada orang yang memahami ajaran agama dan mengatasnamakan agama namun merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan, apalagi menghilangkannya, maka ini sudah dipastikan berlebih-lebihan.

Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) mempunyai keistimewaan (mumayyizāt) dalam hal kurikulum dan pembelajarannya dibanding sekolah menengah umum dan madrasah aliyah reguler. Setidaknya penulis merangkum tigal hal penting yang menjadi keistimewaan pesantren negeri ini.

Pertama, spirit moderasi beragama dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran; kedua, penanaman pemahaman keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang tinggi; ketiga, penanaman sikap bijak dalam menyikapi perbedaan dalam kehidupan.

Peserta didiknya digembleng untuk mengkaji dan menganalisa kitab-kitab babon referensi keislaman, baik fikih, ushul fikih, tasawuf, ilmu mantik dan balaghah, ilmu tafsir dan Al-Quran, di samping penguasaan secara advance dalam berbahasa Inggris dan Arab, serta penguasaan ilmu non agama, seperti: filsafat, sosiologi, komunikasi, dan seni budaya. Makanya, sangat tepat jika MAPK, sebagaimana diungkap Burhanudin Muhtadi (Pengamat Politik Nasional) adalah kios ( atau dalam konteks saat ini, loka pasar (marketplace) yang menjajakan pemikiran Islam yang warna- warni.

Soal olah pikir, rasa, dan karsa, santri MAPK di atas rata-rata. Mereka mendalami secara serius ilmu-ilmu syariat, tasawuf, dan seni. Mereka adalah peserta didik berkultur hibrida, par excellent dalam hal bersikap terbuka, dialogis, komunikatif, tidak gegar dan kagetan akan perbedaan pemikiran dan pandangan keagamaan.

MAPK lahir untuk mendidik kader ulama, ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Program prestisius ini dijalankan untuk mengantisipasi akutnya persoalan madrasah, melahirkan input mahasiswa/i Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/IAIN/STAIN) yang berkualitas, di samping sebagai pilot project untuk dipersiapkan menjadi pegawai Kemenag yang lebih profesional, berwawasan luas, dan moderat agar mampu memahami perbedaan pemikiran keagamaan masyarakat.

Format Ideal dan Tugas MAPK ke Depan

Sebagai salah satu alumni MAPK, penulis mencoba mengusulkan beberapa strategi dan kebijakan terkait modifikasi format dan restrukturisasi penyelenggaraan MAPK ke depan supaya tidak terus berada ‘di persimpangan jalan’, sebagaimana berikut:

Pertama, terkait payung hukum MAPK. Perlu dikeluarkan Peraturan Menteri Agama RI yang baru dengan standarisasi baku, petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang jelas, menyeluruh dan terarah, serta didukung dana proyek khusus jangka panjang.

Penulis mencoba membandingkan dengan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 42 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1524), kemudian diperkuat dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 3192 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia Sebagai Madrasah Berasrama.

Dalam PMA ini disebutkan: MAN Insan Cendekia berada di bawah Direktur Jenderal Pendidikan Islam (pasal 2) dan MAN Insan Cendekia menyelenggarakan fungsi: perencanaan kegiatan dan anggaran, penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, penyelenggaraan kerjasama dan sinergi lintas sektoral, pengelolaan unit asrama, unit laboratorium, unit penjamin mutu, dan unit penunjang lainnya, pelaksaan administrasi, evaluasi, dan pelaporan (pasal 4), dan kepala madrasah IC wajib melaksanakan pengendalian internal, penilaian kinerja, dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Direktur Jenderal (pasal 16).

Kenapa MAPK tidak bisa seperti itu? Padahal, sejarah membuktikan bahwa kedua prototip sekolah unggulan ini mampu menjadi Magnet School-nya Kementerian Agama, yakni model dan inspirasi bagi madrasah-madrasah lain.

Kedua, MAPK dijadikan nomenklatur pendidikan atau unit pelaksana teknis (UPT) tersendiri berdasarkan Peraturan Menteri Agama. Pelaksanaannya tidak dititipkan kepada satuan kerja Madrasah Aliyah Negeri yang ditunjuk.

Secara administrasi kelembagaan, manajemen pengelolaan, sarana dan prasarana, gedung, tenaga guru, dan kurikulum dikelola secara penuh dan otonom oleh satuan kerja MAPK. Selama masih menempel pada MAN regular, pengelolaannya terasa ‘biasa’ dan hanya sampingan.

Ketiga, perlunya penerapan kebijakan secara teori transaktif, yakni perumusan kebijakan melalui diskusi dengan semua pihak. Proses pendiskusiannya perlu melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak terkait atau stakeholder, termasuk dalam hal ini adalah founding fathers MAPK, tokoh pendidikan, kiai, perwakilan alumni MAPK dengan ‘tuan rumah’ Kementerian Agama, dengan menunjuk satuan tugas perumus kebijakan baru MAPK. Satuan tugas tersebut diisi oleh aktor-aktor yang paham sejarah dan dinamika MAPK, masih punya idealisme bukan yang ‘lesu darah’ dan sekadar berorientasi proyek.

Keempat, tentang kurikulum MAPK. Perlunya penyesuaian kurikulum yang adaptif, kontekstual, dan ‘peka zaman’. Selain kurikulum-kurikulum ‘pakem’, ‘andalan’, dan ‘tsawabit’ (meminjam istilah Dr. Asrorun Niam Saleh, salah satu produk MAPK), sebagai trade mark MAPK, yakni penguasaan ilmu-ilmu kegamaan Islam, seharusnya santri-santri MAPK dibekali dengan kurikulum-kurikulum zaman now, ‘mutaghayyirat’, sebut saja: desain grafis, sinematografi, penguasaan ilmu IT, start up, dan Artificial Intelligence (AI). Kurikulum 5.0 ini bisa diajarkan di jam tutorial/ekstrakurikuler, dipersiapkan infrastruktur dan perangkatnya serta didanai oleh Kementerian Agama.

Jebolan MAPK diharapkan semakin banyak yang menekuni dan terjun di dunia-dunia “sekuler” dengan menjadi politisi, pengusaha, pegiat sosial, budayawan-seniman, dan profesi lainnya.
Dengan bekal pengetahuan agama yang didalaminya, saya haqqul yakin, alumni MAPK akan menjadi pelopor (precursor) perubahan dan transformasi sosial di dunia profesi yang digelutinya.

Akhirul kalam, MAPK, siswa dan alumninya mempunyai tanggung jawab besar dalam memasyarakatkan pemahaman dan dakwah Islam yang moderat, progresif, bermartabat dan berkeadilan di Indonesia. Tugas MAPK adalah tugas kenabian, yang bukan sekadar memberikan pencerahan (tanwir, enlightenment) di dunia teks keagamaan (hadlarat al-nushush al-diniyyah), tetapi juga meluas pada konteks (context, dluruf) dan bidang-bidang lain yang luas, semisal politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan, di mana umat Islam dan bangsa Indonesia menjadi subjek sekaligus objek.

MAPK harus selalu istikamah melahirkan ulama-intelektual atau ulama-intelektual yang “melek” teks dan konteks. Mengingat intelektual-ulama atau ulama-intelektual dewasa ini bukan saja dituntut fasih dalam soal teks keagamaan, tetapi juga fasih dalam advokasi dan praksisme politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.

[RAN]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *