[JAKARTA, MASJIDUNA] – Persoalan terorisme kembali dalam satu pekan terakhir kembali mencuat. Terorisme bermula dari sikap intoleran terhadap pihak lainnya yang berbeda. Mewaspadai gerakan tersebut dengan membentengi keluarga dan orang-orang di sekitar kita.
Pertahanan yang paling ideal dalam mengahdapi berbagai persoalan seperti narkoba, seks bebas hingga ancaman paham intoleran yang menjurus pada aksi teror tak lain dengan membentengi keluarga. Keluarga memiliki peran penting untuk memastikan untuk terbebas dari paparan ancaman hal-hal buruk.
Bekas napi teroris, Nasir Abbas, melalui akun Facebooknya, Kamis (1/4/2021) kembali membagikan pernyataannya saat berceramah di Pondok Pesanren Amanatul Ummah, dua tahun lalu (1/8/2019). Pernyataan tersebut relevan di saat belakangan muncul pelaku tindak teror yang berasa dari kalangan milenial.
Nasir yang telah menjadi teroris sejak usia 18 tahun ini mengingatkan usia remaja merupakan momen yang rawan disusupi paham intoleran. Dia memberi kata kunci, remaja yang terlambat memperdalam ilmu agama menjadi salah satu titik rawan disusupi paham yang intoleran. “Saya dulu pada tahun 1987 dikirim ke wilayah konflik di Afghanistan berumur 18 tahun,” ucap Nasir.
Dalam kesempatan tersebut itulah, Nasir menyebut strategi kelompok teroris dalam merekrut anggota baru, khususnya dari kalangan remaja atau generasi milenial. Menurut dia, terdapat tiga pertanyaan jebakan untuk mengajak generasi milenial masuk dalam paham intoleran.
Tiga pertanyaan tersebut berisi pilihan yang saling berhadap-hadapan untuk dipilih salah satunya yakni: pertama “lebih baik mana al-Qur’an atau Pancasila”?, kedua Lebih baik mana Nabi Muhammad dan Pak Jokowi?” dan ketiga “Lebih baik mana negara Islam dengan negara kafir?”.
Dia pun membuat simulasi pertanyaan kepada para santri yang hadir pada kegiatan tersebut. “Coba adik-adik santri jawab.. “Lebih baik mana Al-Quran dan Pancasila,” tanya Nasir Abbas kepada para santri Amanatul Ummah yang memadati Masjid Raya KH Abdul Chalim. Para santri itu langsung menjawab, “Al-Quran…”.
Nasir Abbas kemudian melontarkan pertanyaan lagi, “Lebih baik mana Nabi Muhammad dan Pak Jokowi.” Para santri langsung menjawab, “Nabi Muhammad…”
“Lebih baik mana antara negara Islam dan negara kafir,” tanya Nasir Abbas lagi. Para santri menjawab, “Negara Islam.”
Mendnegar jawaban para santri, Nasir menyebut tanpa sadar para santri telah dipengaruhi paham intoleran dan menjadi bibit jejaring teroris. Menurut Nasir, pertanyaan yang sifatnya jebakan tersebut mestinya tidak perlu dijawab “Karena tidak selevel. Itu pertanyaan-pertanyaan salah. Masak Al-Qur’an dibandingkan dengan Pancasila. Masak Nabi Muhammad dibandingkan dengan Pak Jokowi,” kata Nasir.
Nasir mengingatkan masih banyak lagi pertanyaan serupa yang dilontarkan sebagai upaya indoktrinasi kepada remaja agar mengikuti paham intoleran dan ekstrem. Menurut Nasir, saat ini kelompok teror dalam merekrit anggota baru tak selalu dengan melakukan tatap muka, namun menggunakan fasilitas digital seperti buku maupun video.
Paham intoleran dan ekstrem nyatanya ada di sekitar kita. Mari bentengi keluarga dan anak kita dari ancaman nyata tersebut. Komunikasi yang terbuka di dalam keluarga serta pendalaman ilmu agama yang tepat merupakan jalan pertama dan utama untuk memastikan keluarga kita selamat dari paparan paham intoleran termasuk perilaku yang merusak lainnya seperti narkoba serta pergaulan seks bebas. Mari jaga keluarga.
[RAN/Foto: damailahindonesia.com]