[MASJIDUNA, PECS] – Jejak kejayaan Turki Utsmani terbentang di sejumlah negara. Salah satunya berada di Kota Pécs, Hongaria. Bagaimana warisan peradaban Islam masa Turki Utsmani itu, kini?
Nama masjid ini diambil dari nama gubernur Wilayah Szekzárd, Hongaria, saat penaklulkan kota ini berlangsung. Masjid ini dibangun selama tiga tahun, 1543-1546. Masjid ini secara arsitektur kota sangatlah eksotis. Ia berada di bawah bukit Tetyé yang sejuk dengan panorama yang elok.
Pada 5 Juli 1543, Kota Pécs secara resmi diserahkan oleh penguasa lokal kota tersebut kepada Kasim, gubernur wilayah Szekzárd, Hungary. ‘Penaklukan kota inipun terbilang singkat, hanya dalam 1 jam pertempuran, tentara Ottoman berhasil mengalahkan tentara lokal.
Kini, masjid Pasha Kasim, memang tak lagi berfungsi sebagai masjid. Dalam rekaman sejarah yang dideoramakan di salah satu ruangan lantai bawah masjid tersebut, terlihat bahwa sepeninggal Kasim, masjid ini sempat berubah menjadi gereja dengan sedikit renovasi dan penambahan ruang gereja untuk jamaah dan pastur. Ini terlihat jelas di lantai dua ruang masjid ini yang berbagi antara mihrab imam masjid dan mimbar pastor yang bersebelahan.


Namun, menariknya patung salib juga diletakkan pada dinding persis di atas mihrab imam yang masih tertera kaligrafi tauhid. Sebaliknya, di samping ‘mimbar’ pendeta juga masih menempel kaligrafi basmalah dengan gagahnya. Ada perasaan kebanggaan dan sekaligus keprihatinan tentunya, namun inilah hukum sejarah yang harus legawa diterima.
Kini, masjid Pasha Kasim difungsikan sebagai sebagai museum. Untuk memasuki gedung ini, pengunjung dibanderol tiket sebesar 1000 forint atau sekitar Rp 50 ribu. Pengunjung bisa menikmati romantisme masa lalu dari masjid dan sekaligus gereja di bangunan ini.

Sebagai masjid-gereja-museum yang melegenda, bangunan yang berdiri megah di jantung kota Pécs ini, menjadi pusat ke ramaian dan kesenangan wisata kota. Pelancong lokal dan mancanegara banyak yang menyemut di halaman depan Masjid ini untuk menikmati berbagai atraksi yang disajilan oleh para seniman lokal, mulai dari menyanyi, menari, melukis atau hanya sekadar photo selfie.
[Kontributor: Saru Arifin, Ph.D]