Ketika Terjemahan Quran Dianggap Tak Bisa Berubah

[JAKARTA, MASJIDUNA]— Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kementerian Agama Muchlis Hanafi mengaku heran, selama ini terjadi anggapan yang keliru di tengah masyarakat mengenai terjemahan Al-quran. Seolah-olah terjemahan itu adalah quran sendiri, padahal jelas berbeda. Akibatnya, terjemahan quran yang sudah dikeluarkan Kementerian Agama itu, seperti tak boleh berubah.

“Saya tegaskan, bahwa terjemahan Al-Quran bukan Al-Quran. Terjemahan sifatnya fleksibel, bisa berubah sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat. Sementara Al-Quran tidak bisa berubah,” tegas Muchlis Hanafi saat menjadi narasumber dalam Forum Tematik Bakohumas Pemerintah, di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Dampaknya memang lumayan serius. Di era Lukman Hakim Saifuddin jadi Menag, pernah terlontar gagasan merubah terjemahan tersebut. Namun, reaksi dari sebagian masyarakat tidak mendukung. Terlebih saat kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ramai karena dianggap melecehkan quran surat Al-Maidah ayat 51. Kala itu, kata aulia yang tercantum dalam surat tersebut dimaknai “pemimpin”. Tapi ada juga yang menerjemahkan “teman”. Beredar kabar terjemahan “pemimpin” akan diubah menjadi “teman”, sehingga menimbulkan kegaduhan.

Tampaknya, upaya mengubah atau menyempurnaan terjemahan Quran ke dalam bahasa Indonesi, bukan saja butuh waktu tapi juga sosok para penerjemah dan ulama yang mumpuni.

Dalam sejarahnya, quran dari Kementerian Agama yang saat ini beredar diterjemaahkan 10 ulama pada masanya yaitu, Prof. T.M. HAsbi Ashsidiqi, Prof.H.Bustami A. Gani, Prof.H. Muchtar Jahja, Prof.H.M.Mukti Ali, Drs. Kamal Muchtar, H.GAzali Thaib, KH.A.Musaddad, KH.Ali Maksum, dan Drs.Busjairi Madjidi.

Proses penerjemahan memakan waktu selama 8 tahun, sesuai Surat keputusan Menteri Agama No.26 tahun 1967, melalui Yayasan Penerjemah/Pentafsir Al-quran yang diketuai oleh Prof.Dr.R.H.A.Soenarjo S.H, yang juga rektor IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Proses penerjemahan Quran oleh Kementerian Agama kala itu, masuk sebagai bagian dari Pola I Pembangunan Semesta Berencana, sesuai keputusan MPR. Karena itu, pencetakan quran menjadi bagian dari Repelita (Rencana Pembangunan LIma Tahun), yakni rencana pembangunan di era Orde Baru yang benar-berna terencana.

Sebelum Kementerian Agama mengeluarkan terjemahan Al-quran, yang disebut “Al-quranul Karim” , di Indonesia sudah beredar sejumlah terjemahan baik berbahasa daerah maupun Indonesia. Misalnya saja. Mahmud Yunus yang membuat “Tafsir Quran Indonesia” (1935), kemudian A. Hasan menerbitkan “Al-Furqon” (1928), dan “Tafsir Al-quran” oleh H. Zainuddin Hamid (1959). Sementara untuk bahasa Jawa “Al-Ibriz” karya KH Bisyri Musthafa Rembang dan “Hibarna” dalam bahasa Sunda oleh KH. Iskandar Idris.

(IMF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *