Ramadan Bersama Asmaul Husna (14)

AL-HAKĪM

Oleh: Dr. Izza Rahman, M.A. (Dosen di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka/UHAMKA Jakarta) 

Sabbaha lillahi ma fis-samawati wal-ardhi, wahuwal-‘azizul-hakim. Semua yang di langit dan bumi bertasbih kepada Allah, dan Dia adalah Yang Mahaperkasa Mahabijaksana.

Manusia sering tidak menempatkan sesuatu secara pas — pada tempat, waktu, suasana, dan urutan yang tepat. Ia mudah merasa dizalimi, tapi juga mudah tidak adil kepada yang lain. Manusia memerlukan Tuhan Yang Mahabijaksana, yang tidak pernah zalim, berpihak pada yang terzalimi, yang memutuskan segala urusan dengan pengetahuan sempurna, dan yang keputusan-Nya pastilah terlaksana.

Allah adalah pemilik seluruh hukum dan hikmah. Dia sajalah pemberi keputusan hakiki, dan pemberi keputusan terbaik. Keputusan-Nya sempurna, karena di dalamnya tak sedikit pun terkandung kejahilan ataupun kezaliman. Keputusan-Nya bijaksana dan dapat terlaksana seluruhnya, dengan sempurna dan tanpa rintangan. Hamba yang sadar akan merasa tak ada pilihan selain menaati-Nya, dan menyesuaikan pandangan serta keputusannya dengan kepatuhan kepada-Nya.

Allah Mahatahu Mahabijaksana. Apa pun kehendak-Nya (misalnya dalam penciptaan manusia, pengutusan rasul, penyampaian wahyu, pemberian petunjuk, ataupun pembalasan amal) tidaklah dilatari oleh ketidaktahuan, keterbatasan informasi ataupun ketidakbijaksanaan. Allah memiliki seluruh pengetahuan sehingga tidak mungkin kehendak-Nya didasari oleh ketidaktahuan — termasuk ketidaktahuan tentang akibat dari yang diputuskan atau dilakukan. Hamba yang sadar akan malu untuk berburuk sangka, ataupun untuk membuat keputusan tanpa ilmu dan tergesa-gesa.

Allah Mahaperkasa Mahabijaksana. Kebijaksanaan yang Allah miliki bukanlah karena sifat rendah, lemah, atau tidak mampu. Allah memiliki seluruh kemuliaan, keagungan, dan keperkasaan, sehingga kebijaksanaan-Nya bukanlah karena ketidakmampuan untuk bersikap tegas atau keras kepada makhluk-Nya. Keperkasaan-Nya tidak melahirkan kesewenangan, ketidakadilan, ataupun perlakuan buruk. Hamba yang sadar tak akan kehilangan rasa takut ataupun sikap tawakal kepada-Nya.

Insan yang menyadari kedudukannya sebagai hamba al-Hakim, tumbuh menjadi pribadi yang arif dan bijaksana dalam interaksi sosialnya. Ia tidak mudah menghakimi orang lain, apalagi tanpa informasi yang memadai. Ia tidak mau tergesa-gesa mengambil kesimpulan dan berusaha untuk menimbang berbagai pertimbangan. Ia tidak ingin berlaku sewenang-wenang, dan selalu berusaha bersikap adil.

[RAN]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *