Oleh: Noryamin Aini
(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
[JAKARTA, MASJIDUNA] – “Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu: Argumen bagi Keterciptaan Alam Semesta”. Begitu versi edisi Indonesia dari salah satu karya Kieth Ward yang berjudul “God, Chance and Necessity”. Dalam buku ini, Ward mengingatkan bahwa ada kepastian dalam kontrol otoritas Tuhan, dan ada kesempatan dalam usaha manusia. Keduanya saling melengkapi, tanpa harus dikonfrontasikan.
Prof. Kieth Ward
Kieth Ward adalah seorang profesor yang berlatar keilmuan teologi. Dia seorang pendeta dari the Church of England, dan the Canon of Christ Church. Prof. Ward sukses menyabet dua gelar doktor dari universitas tertua, papan atas, di Inggris; Cambridge dan Oxford. Dia rajin menulis banyak karya untuk membangun narasi teologis. Karya-karyanya menarik, seminal, dan prestasinya mumpuni.
Seperti dalam banyak karya lanjutannya, (lihat) “God: A Guide for the Perplexed” (2002); “God and the Philosophers” (2003); “What the Bible Really Teaches: A Challenge for Fundamentalists” (2004); “Is Religion Dangerous?” (2006); “The Big Questions in Science and Religion” (2008); “Why There Almost Certainly Is a God: Doubting Dawkins” (2008); dan “The Evidence for God: The Case for the Existence of the Spiritual Dimension (2014), Ward selalu berusaha membangun narasi ilmiah tentang Tuhan dan isu-isu turunannya, seperti dalam buku tenarnya “God, Chance and Necessity” (1996), (versi Indonesianya “Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu”). Dalam kesan banyak orang, karya-karya Ward mengagumkan dalam spektrum narasi agama, terutama masalah teologis.
Menurut saya, kebenaran narasi teologis seperti yang banyak dibahas oleh Ward tidak cukup dibangun hanya atas dasar argumen saintifik, nalar rasional dan bukti-bukti empiris. Kenapa? Karena rumpun aliran keilmuan ini memiliki keragaman basis epistemologis. Dasar klaim (1) kebenaran teologis adalah keyakinan (iman) berbasis narasi Kitab Suci, terutama agama wahyu-semitik. Sementara itu, (2) rasionalisme mengagungkan narasi-episteme rasional; dan (3) argumen empirisme didasarkan atas pengalaman (positivisme) manusia.
Dengan keunggulan dan cacat (deficiency) ketiga aliran keilmuan di atas, banyak kebenaran teologis yang tersisa, tidak bisa dijelaskan, jika dikritisi dalam kerangka nalar rasional dan empiris, atau sebatas narasi teologis. Contohnya tentang kuasa Tuhan. Kalau Tuhan maha kuasa, dan kadar kekuasaan-Nya tidak berbatas (unlimited), maka, tidak ada hal yang mustahil bagi Tuhan. Atas dasar klaim kuasa-Nya yang tidak berbatas, Tuhan sejatinya mampu melakukan apa saja, dan dapat menjadi apa saja, sesuka-Nya. Tuhan bisa saja eksis tanpa wujud, atau menjelma sebagai entitas fenomenalogis, atau menjadi manusia, hewan, pohon, batu, dan lain sebagainya.
Kalau ada umat beragama yang mengatakan bahwa Tuhan tidak bisa menjadi manusia (melahirkan dan dilahirkan), penerimaan dan penolakan atas kebenaran klaim pembatasan kuasa Tuhan tersebut harus diletakkan dalam kerangka episteme tertentu, teologis (narasi beralas bait-bait sakral Kitab Suci?). Di sinilah letak keniscayaan kearifan nalar agama dari beragam sudut pandang yang harus diusung umat beragama.
Narasi Kuasa Tuhan
Secara logis, narasi pembatasan kuasa Tuhan, umpama, terbaca berseberangan dengan linearitas nalar rasional tentang kuasa Tuhan yang tidak berbatas. Dalam dan dengan kuasanya, Tuhan dapat/mampu melakukan apa saja; Tuhan kuasa bertindak semau-Nya. Umat Islam, umpama, meyakini klaim kebenaran batas kuasa Tuhan untuk menjadi manusia. Ini adalah satu contoh klaim teologis yang tidak rasional (kuasa mutlak Tuhan dibatasi dengan ketidak-kuasaan-Nya melakukan sesuatu). Tetapi, klaim kebenaran ini tetap diyakini atas dasar pijakan Kitab Suci, walaupun tidak logis. Kenapa? Karena al-Quran, dalam Surat al-Ikhlas ayat 3, menegaskan pembatasan kuasa absolut Tuhan tersebut. Alhasil, bagi umat Islam, keimanan terhadap keberadaan al-Quran menjadi pijakan klaim kebenaran teologis di atas.
Contoh klaim kebenaran teologis lain bahwa “pilihan Tuhan pasti lebih baik dibandingkan opsi manusia”. Akar perdebatan dari persoalan klaim kebenaran ini adalah argumen dan metodologinya. Apakah kita bisa membuktikan secara rasional dan empiris, terutama, bahwa realitas atau pengalaman tertentu adalah satu bentuk eksekusi kehendak-pilihan Tuhan atas takdir, harapan manusia?
Jawabannya bisa “ya” dan bisa juga “tidak” seperi dalam kasus jodoh kita dengan siapa. Nalar teologis yang affirmatif (ya) terhadap pilihan di atas, menurut saya, masih tidak mampu memastikan kebenaran klaimnya, apakah ia betul-betul sesuai dengan restu Tuhan. Kalaupun realitas takdir adalah sebagai refleksi dari kehendak Tuhan, hal itu semata-mata didasarkan pada keimanan kita bahwa setiap butir dan setiap jengkal takdir nasib hidup manusia, sudah ditentukan oleh Tuhan. Maka, setiap realitas, pada intinya, tidak lain adalah eksekusi (qadla) pilihan ketentuan (takdir) Tuhan atas usaha-opsi manusia.
Dalam narasi wacana qadla (eksekusi) dan qadar (takdir, takaran), setiap realitas adalah eksekusi pilihan Tuhan atas takdir. Di sini, setelah rangkaian peristiwa terjadi, seperti kasus berjodoh langgeng atau harus cerai, dan sehat atau sakit terinfeksi Covid-19, pada contoh lainnya, orang beriman meyakini bahwa semua itu adalah pilihan Tuhan atas takdir manusia. Dalam kerangka ini, apa yang disebut dengan pilihan Tuhan, pada dasarnya, ia adalah kesimpulan subyektif manusia beriman terhadap realitas perjalanan takdirnya. Bagi orang beriman, di atas pilihan manusia sudah ada takdir ilahiah (kesepakatan azaly, atau kontrak primordial manusia dengan Tuhannya) di awal penciptaan (QS.al-Qamar: 49).
Sementara itu, di sisi lain, dinamika empirisasi di level pengalaman manusia, adalah proses pembuktian eksekusi obyektif pilihan Tuhan atas opsi subyektif manusia. Keduanya tidak harus dipertentangkan. Keduanya memiliki basis konstruktif masing-masing. Qadar (takdir) adalah konstruksi eksklusif Tuhan, dan manusia tidak mungkin, dan tidak pernah mengetahui hakikatnya. Setelah eksekusinya berakhir, manusia akhirnya mengerti bahwa realitas adalah wujud qadar (takdir) manusia.
Alhasil, setiap realitas kejadian adalah pilihan eksekutif Tuhan. Nalar teologis seperti ini berefek psiko-religius yang dahsyat bagi jiwa orang beriman. Qalbu orang beriman, dalam spirit nalar teologis seperti ini, akan selalu tenang. Dia tidak akan mencari tumbal, “kambing hitam” terhadap peristiwa buruk yang dia alami. Dia tidak akan pongah atas keberhasilannya, dan sebaliknya, dia tidak sedih karena nasib buruk dan tragisnya. Semuanya atas kehendak Tuhan yang harus diterima dengan lapang dada; syukur dan muhasabah.
Petualangan Mencari Hikmah
Orang beriman akan selalu mencari hikmah, dan pesan moral, di balik setiap peristiwa yang dialaminya. Dalam bingkai narasi iman seperti dituturkan di atas, bagi orang beriman, setiap kesuksesan, bahkan juga tragedi, sebaik dan seburuk apapun, adalah titik beranjak renungan-refleksi. Kebaikan (karunia-nikmat) mengajarkannya berkah untuk berbagi, dan jiwa syukur. Sebaliknya, keburukan, petaka, dan penderitaan mengajarkannya renungan, evaluasi, dan muhasabah, agar dia tidak terjebak di kubangan kesalahan-dosa yang sama.
Sahabat!
Refleksi kali ini, agak panjang, dan ingin mengajak kita membangun narasi kontekstual dan situasional saat kita menghadapi bermacam peristiwa. Isu teologis (nasib-takdir), terutama, harus dicermati dan diterima atas basis keimanan, karena banyak masalah teologis tidak bisa dijelaskan secara rasional dan empiris. Karenanya, “pengiman” yang berilmu (ulama) pasti tidak akan memuji narasi tunggal atas konstruksi sainstifik (empiris dan positivistik) untuk membangun argumen eksklusif kebenaran teologisnya.
Adalah menarik untuk disimak dialog konsultatif Nabi Ibrahim as dengan Allah swt saat beliau memohon Allah swt memperlihatkan (empiris) cara Dia menghidupkan burung mati. Allah meresponse nalar kepo (curiosity) Ibrahim dengan balik bertanya padanya “Apakah kamu meragukan, atau tidak percaya atau kafir (mengingkari) terhadap kuasa-Ku untuk menghidupkan?” Ibrahim dengan arif menjawab “Tidak, ya Allah”; “Hal tersebut saya mohonkan hanya untuk menenangkan qalbuku (hati)” (QS. Al-Baqarah : 260); tidak untuk membuktikan secara empiris kebenaran kuasa-Mu, ya Allah.
Kisah Ibrahim mengajarkan cara berpikir ilmiah orang beriman, yaitu nalar yang beranjak dari iman ke arena petualangan ilmiah untuk meraih ketenangan qalbu. Implikasinya, tolok ukur nilai pragmatis, praktis, dan eksekutif dari petualangan seorang yang beriman dalam mengejar narasi keberadaan Tuhan dan isu turunannya, adalah keterbebasannya dari kegalauan-keresahan qalbu yang tidak berujung. Dalam petualangan qalbuku yang terus bergerak maju, beranjak dari iman, aku menemukan kekuatan pendirian setelah pembuktian. Semuanya mengajarkan dan menguatkan imanku.
Sahabatku!
Berpikir kreatif —bahkan sampai keluar dari bingkai normatif-tradisional, dengan basis iman, saat membincang isu-isu teologis— akan menjadi ranah ketenangan bagi qalbu (hati nurani) orang beriman. Catatan: terimalah klaim keberanan teologis atas dasar spirit iman, walaupun ia tidak rasional dan tidak empiris. Pilihan ini dimaksudkan agar qalbu kita tidak terus terseret ke dalam pusaran yang menenggelamkan kita dalam polemik ilmiah yang sering tidak berujung.
Akhir kehidupan manusia adalah satu keniscayaan. Namun, ketika titik akhir kehidupan ini tidak ada yang tahu, maka jangan sampai kita mengakhiri hidup-nafas imani kita dengan keraguan terhadap kebenaran agama, tentang hakikat eksistensial Tuhan. Selamatkanlah teleologi (tujuan) hidup kita untuk mengabdi pada kebenaran Kitab Suci, dan kebaikan qalbu kita.
Akhirnya, bagi orang yang beriman —di hadapan otoritas Kitab Suci dan Tuhan—, dia harus mengusung prinsip “Ya Tuhan, kami simak firman-Mu, lalu kami taati”, dan “jika ada hal yang salah dalam praktik keseharian kami, kami bermohon ampunan-Mu (maghfirah) (QS. Al-Baqarah 286). Dalam kasih-Mu, kami terus berharap ampunan dan ridlo-Mu.
Allah lebih mengerti hal-hal yang benar.
[RAN/Foto: internet]