Aib-Borokku: Aku Malu Ya Allah

Oleh: Noryamin Aini (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

“Ya Allah, hamba malu karena hari ini tidak berpuasa, padahal Nabi-Mu yang kami kagumi, mencontohkan puasa di tanggal 2 Zulhijjah. Ya Allah, hamba malu, di tahun ini, dengan bermacam alasan, hamba tidak berkurban, padahal Nabi-Mu tidak pernah alpa berkurban setiap tahun, walaupun dalam keadaan serba kekurangan.”

Sahabat!
Memangnya, kita ini siapa? Orang baik? orang saleh? orang mulia? sosok terhormat? tanpa aib? Begitu banyak pertanyaan yang mengusik perasaanku untuk kesadaran menjadi lebih baik. Entah apa perasaan yang juga bergemuruh di qalbu saudara-saudaraku yang seiman.

Siapapun kita, kerinduan untuk menjadi orang yang lebih baik telah menjadi impian, harapan (rojā), tentu dalam ridlo Allah. Dalam “gendam” dan “hipno-religi” sentuhan kegalauan qalbu yang selalu membisikkan khittah kebaikan, saya sering terjebak dalam emosi iri hati pada kepribadian dan kebaikan para “sālik” (petualang kebaikan). Para sālik, sufi pemula, terutama, sering mencemooh dirinya karena merasa tidak cukup mulia di mata Allah; mereka merasa tidak cukup maksimal dalam usaha memperjuangkan kebaikan bagi dirinya karena Allah.

Bagi para sālik, ini adalah perasaan luhur untuk pintu memasuki pesona keindahan taubat. Perasaan itu tumbuh dari kesadaran bahwa mereka merasa tidak cukup taat pada perintah Allah. Mereka merasa tidak cukup ikhlas saat menjalankan perintah agama. Mereka merasa tidak cukup rajin untuk beribadah. Mereka merasa tidak cukup serius untuk memperjuangkan Islam. Padahal segala perintah Allah telah mereka amalkan; telah mereka rawat abadi dalam keseharian.

Para sālik selalu galau (khouf) dengan kekurangan dan kelemahan yang sering diabaikan karena geliat jiwa kesombongan. Saat masbūq, telat memulai salat berjamaah, mereka malu terlambat menjawab panggilan Allah lewat lantunan azan. Saat salat sendirian, dia menyesal tidak memanfaatkan fasilitas salat berjamaah untuk melipat-gandakan pahala.

Ketika bersedekah, mereka merasa malu karena tidak berbagi lebih banyak lagi. Saat membiarkan kemungkaran terjadi di depannya, mereka merasa mau mengaku seorang muslim, karena gagal mengusung moral dakwah untuk menyampaikan dan memperjuangkan nilai-nilai luhur Islam. Bukankankah pembiaran terhadap kesalahan-kemungkaran adalah satu bentuk restu sosial.

Ketika dipuji karena prestasi atau status jabatan, mereka merasa malu karena sebetulnya, begitu banyak kelemahan yang mereka sembunyikan, termasuk kebusukan siasat dan cara mereka menggapai prestasi itu; juga kelatahan mereka menjual omongan kebohongan untuk memperjuangkan obsesi, nafsu jabatan, dan kekuasaan.

Masih ingat kenakalan saat sekolah, saat kuliah? Sering nyontek? pernah minta bocoran kunci jawaban soal ujian untuk beragam tes? sering bullying kawan yang culun?

Masih ingat saat menjadi guru? Mengajar tanpa persiapan karena merasa sudah menguasai materi ajar? saat merintis jalan menjadi guru, menjadi pegawai-karyawan, atau menjadi pejabat dengan menempuh jalur “tikus” dan memotong tikungan terlarang dan tercela dengan cara menerobos prosedur yang ditentukan? Mendapat banyak untung saat berdagang, padahal keuntungan itu diperoleh dari tipuan harga dan produk yang diperjual-belikan? Entah keburukan apalagi yang sering kita abaikan?

Ya Allah, banyak keburukanku; banyak aibku. Air mataku ini tidak pernah menetes sebagai ungkapan sesal. Taubatku terhadap borok-keburukan masa laluku tidak juga kunjung datang. Suara sesal qalbuku tidak pernah menegur kesombongan dan pengabaian bisik iblis di bilik hatiku tentang jejak buruk masa laluku. Sampai kapan kesombongan ini aku pendam?

Sahabat!
Kalau kita dihormati dan dimuliakan orang, janganlah merasa diri kita sungguh mulia; merasa terhormat tanpa cacat dan dosa agama, tanpa aib dan kebobrokan moral, atau tanpa cemooh sosial. Kemuliaan itu hanya milik Allah. Pujian (alhamdu) hanya milik Allah. Kesempurnaan itu hanya milik Allah.

Fakta bahwa kita dihormati-dimuliakan orang lain, hal itu karena Allah masih sayang pada kita. Allah tidak mau, tidak iba, tidak tega mempermalukan kita di mata orang banyak. Itu semua karena Allah tidak mau membuka aib, kebejatan kita ke mata publik. Kalau saja Allah mengumbar atau membuka lebar semua kebobrokan kita, mungkin, banyak orang menyesal telah memuji dan menghormati kita. Mungkin, ada orang yang mencemooh, bahkan melemparkan ampas kotoran kebencian ke muka kita.

Jadi, jangan pernah merasa terhormat dan merasa mulia, jika perasaan itu, sejatinya, adalah kuburan pengingkaran terhadap kekurangan, keburukan-cela-aib yang tidak mau kita perbaiki.

Hakikinya, kita tidak semulia penghormatan orang lain pada kita. Sejatinya, kita tidak sehebat pujian orang lain. Kita tidak sebaik sosok super yang dilihat orang. Kita adalah sosok makhluk Allah yang banyak kekurangan, banyak dosa dan kesalahan.

Sahabat!
Bertaubatlah, sebelum kesempatan taubat itu berakhir, kadaluarsa, di ujung nafas hidup. Pada saat kritis seperti ini, tetes dan kucuran air mata penyesalan, karena kecerobohan dan keengganan untuk bertaubat, tidak akan berarti apa-apa, seperti taubat Firaun di ujung nafas hidupnya.

Indah! Allah telah membuka kunci pintu taubat dan ampunan-Nya (maghfirah) untuk semua orang. Tetapi pintu taubat itu akan tetap tertutup rapat saat kesombongan membungkam kerinduan qalbu yang mengharapkan ampunan-Nya. Kemuliaan kita adalah aib yang tidak dibongkar Allah.

[RAN/Foto: internet]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *