Ternyata, Panggilan “Syekh” Bukan Hanya Bagi Ulama

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Bagi masyarakat Islam di Indonesia, dan juga belahan dunia lain, penyebutan “syekh” merupakan hal lazim bagi sosok yang dianggap mumpuni dalam ilmu agama Islam. Namun, apa makna panggilan tersebut secara bahasa dan historis?

Dalam Ensiklopedia Islam, lema “syekh” dimaknai sebagai gelar kehormatan bagi ulama dan pembesar, kepala suku, gelar keagamaan dan pengajaran. Bisa juga disematkan kepada orang yang mengeluarkan fatwa , fungsionaris dalam tasawuf atau pengurus pranata agama. Bahkan bisa juga fungsionaris kemiliteran.

Secara bahasa, “syekh” berasal dari kata “syaikh” yang artinya orang lanjut usia. Kata dengan makna tersebut termaktub dalam Al-quran surat Al-Qasas ayat 23, surat Hud ayat 72, surat Yusuf ayat 78 dan surat Al-Mu’min ayat 67.

“Syekh” yang artinya pengajar atau gelar keagamaan, sudah lama dan lazim digunakan sejak lama. Misalnya, pada prasasti bertahun 651 H atau 1253 M, di sebuah sekolah di Damaskus terdapat gelar “syaikh al-mazhab” bagi Syamsuddin Abu Makarim Yahya bin Hibatullah bin Hasan as-Syafii, sebagai pengajar mazhab syafii.

Adapun syekh yang berhak mengeluarkan fatwa disebut “syaikh al-fitya”. Menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya “Muqadimmah”, ketika penaklukan Sicilia dipimpin oleh Asad al-Furat at-Tunisi, yang merupakan syaikh al-fitya di masa Ziyadatullah I, gubernur Ifriqiyah dari Dinasti Aglabid (817-838 M).

Sementara makna “syekh” sebagai fungsionaris militer digunakan di belahan dunia Barat seperti Andalusia, yakni buat “syaikh al-guzat wa al-mujahidin” (panglima pasukan penyerang).

Namun, “Syekh” juga bisa bermakna sebagai kepala atau ketua kelompok profesi. Ini digunakan di abad pertengahan, misalnya, “syaikh an-najjarin”(ketua para tukang kayu), syaikh as-sabagin (ketua para penyamak kulit) dan syaikh at-tujjar (pimpinan para pedagang).

Meski luasnya makna dan penggunaannya, namun penggilan “Syekh” di Indonesia terbatas hanya kepada ahli agama saja. Hal ini senada dengan panggilan “ulama”, “kyai”, “ustad” atau “buya”. (IMF, foto:tribun bali)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *