Ingat, Pada Makanan yang Tersaji Terdapat Keajaiban

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Agama Islam memiliki adab dalam memperlakukan makanan dan minuman. Selain baik dan halal, membaca doa pun merupakan bagian yang tak boleh ditinggalkan.

Namun, dalam pandangan para sufi, ada yang lebih dalam dari sekadar memandang makanan dari hanya rasa dan bentuk fisik belaka.

Imam Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya Ulum Ad-din” membeberkan satu bab khusus tentang makan dan minum.

Dengan mengutip hadit nabi, “Bagi orang yang berakal hendaklah ada padanya empat waktu, waktu yang di dalamnya ia bermunajat kepada Tuhannya, waktu yang didalamnya ia bermuhasabah terhadap dirinya, waktu yang di dalamnya ia memikirkan ciptaan Allah, waktu yang di dalamnya ia meluangkan untuk makan dan minum.”

Dari paparan hadits tersebut, Imam Ghazali membuat kategori sifat manusia berdasarkan caranya memperlalukan makanan.

Pertama, mereka yang melihat makanan dan minuman dengan pandangan i’tibar. Pada makanan dan minuman mereka melihat keajaiban-keajaiban ciptaan Allah. Misalnya, proses makanan dari hewan, tumbuhan hingga tersaji dalam makanan. Dan bagaimana Allah menciptakan syahwat dari makanan dan minuman yang disantap. Inilah tingkatan orang berakal.

Kedua, mereka yang melihat makanan dan minuman dengan kebencian dan penuh kutukan. Mereka mengkonsumsinya karena terpaksa (darurat). Mereka melihat dirinya dikalahkan oleh syahwat terhadap makanan.Inilah tingkatan orang zuhud.

Ketiga, orang yang melihat makanan dan minuman sebagai cerminan sang Pencipta. Mereka mendaki titian sifat-sifat-Nya. Inilah tingkat orang yang arif, tanda-tanda orang yang mencintai Allah. Sebab, tatkala hadir kepadanya kreasi, tulisan, atau hal indah lainnya maka ia akan melupakan semuanya dan hanya memikirkan Sang Penciptanya.

Keempat, mereka yang melihat makanan dan minuman dengan gairah dan loba. Mereka sedih bila melewatkan makanan. Sebaliknya mereka senang dengan makanan dan minuman yang tersaji di hadapannya. Mereka mencela makanan dan minuman yang tidak sesuai seleranya, serta mencela juru masaknya. Mereka tidak tahu bahwa pelaku yang mewujudkan masakan dan juru masak, serta pengetahuan juru masaknya adalah Allah SWT. Siapapun yang mencela ciptaan Allah, sesungguhnya orang tersebut sudah mencela Allah. (IMF, foto:kabarfokus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *