[JAKARTA, MASJIDUNA] – Setiap tanggal 18 Agustus diperingati sebagai hari konstitusi. Ini merujuk keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang berlaku di Indonesia. Tepat 74 tahun yang lalu pula, Piagam Jakarta dicoret dari Pembukaan UUD 1945.
74 tahun lalu momentum penting terjadi dalam perjalanan republik Indonesia. Setelah sehari sebelumnya, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Soekarno di Pegangsaan Timur, Jakarta.
Pencoretan tujuh kata di Piagam Jakarta itu bermula pada tanggal 17 Agustus 1945 sore, saat Hatta didatangi seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang mengabarkan tentang kegelisahan sejumlah pemuka agama Kristen dan Katolik atas rumusan yang tertuang dalam UUD 1945 khususya terkait tujuh kata dalam Piagam Jakarta “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang dinilai diskriminatif.
Hatta yang menjadi bagian perumus Piagam Jakarta di Tim Sembilan tentu menolak anggapan tersebut. Hatta ke opsir asal Jepang itu menyebutkan, tujuh kata tersebut tidak memiliki tendensi disrkiminasi terhadap agama lainnya. “Penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam,” tulis Hatta dalam buku “Di Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945”.
Namun penjelasan tersebut belum bisa mengubah anggapan dari kalangan non muslim. Singkat cerita, keesokan harinya pada 18 Agustus 1945, menjelang rapat PPKI Hatta mengumpulkan sejumlah tokoh Islam yang menjadi anggota PPKI yakni Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wachid Hasjim, Teuku M. Hasan, dan juga Kasman Singodimedjo. Pertemuan yang disebut selama 15 menit itu pada akhirnya disepakati untuk mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Konsekwensi dari pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta itu pun berimbas pada batang tubuh UUD 1945. Sebagaimana tertulis dalam buku “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” halaman 470 – 471, Hatta yang juga Wakil Ketua PPKI mencontohkan sejumlah pasal yang dalam batang tubuh UUD 1945 yang bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 maka harus dikeluarkan dari UUD.
“Misalnya Pasal 6 alinea 1 menjadi: “Presiden ialah orang Indonesia aseli”, “yang beragama Islam” dicoret karena yang kedua: “Presiden Indonesia orang Islam” agak menyinggung perasaan dan pun tidak berguna, oleh karena mungkin adanya orang Islam 95% jumlahnya di Indonesia ini dengan sendirinya barangkali orang Islam yang akan menjadi Presiden sedangkan dengan membuang ini maka seluruh hukum Undang-Undang Dasar dapat diterima oleh daerah-daerah Indonesia yang tidak beragma Islam” sebut Hatta.
Hatta melanjutkan, konsekwensi lainnya, rumusan Pasal 29 juga mengalami perubahan. Pasal 29 ayat (1) kata Hatta menjadi begini “Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, kalimat yang di belakang itu yang berbunyi: “dengan kewajiban” dan lain-lain dicoret.
Kendati tujuh kata Piagam Jakarta dicoret dalam kenyataannya, konstitusi di Indonesia justru paling banyak di dunia yang menyebut kata “agama” dan “tuhan”.
Seperti kata Jimly Asshiddiqie dalam buku “Gagasan Konstitusi Sosial” halaman 86 menyebutkan kata “Allah” disebut dua kali, “Tuhan” dua kali, kata “Agama” disebut hingga 10 kali, kata “Kepercayaan” disebut dua kali, kata “Keimanan” disebut satu kali, “Ketakwaan” satu kali, kata “Yang Maha Esa” disebut dua kali serta “Yang Maha Kuasa” disebut satu kali.
“Artinya, meskipun ketika disahkan (UUD 1945) pada tanggal 18 Agustus 1945 pernah terjadi pencoretan 7 kata dari naskah Pembukaan UUD 1945 yang berasal dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945, tetapi jumlah kata-kata yang mencerminkan ide tentang Tuhan dan agama tetap sangat banyak dan bahkan dapat dikatakan terbanyak di dunia,” tulis guru besar Hukum Tata Negara FH UI ini.
Dengan demikian, kata Jimly, UUD 1945 justru disebut sebagai konstitusi berketuhanan (godly constitution), karena UUD 1945 bukanlah konstitusi yang bersifat anti-Tuhan. [FAR]