Oleh: Samsul Ma’arif Mujiharto
Pendiri Afkaaruna Islamic School, Yogyakarta
Tentang beratnya beban administratif yang harus ditanggung oleh seorang guru, sudah menjadi kegelisahan bersama. Isu ini, menurut saya, bukan sesuatu yang mengada-ada, bahkan bukan hanya di Indonesia. Di negara bagian New South Wales, Australia, sebagaimana dikutip dari The Conversation, 91% guru di sana menganggap tugas administratif mereka terlampau berat, bahkan dipersepsikan meminggirkan tugas utama dalam menyediakan pembelajaran yang berkualitas.
Sebelumnya, kegelisahan senada juga diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo. Pada peringatan hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke-72 dan Hari Guru Nasional 2017 di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi (2/12/2017), Presiden Joko Widodo menyatakan, “Tugas guru mendidik sebaik-baiknya terhadap siswa-siswanya. Seharusnya tugas guru lebih banyak bersama peserta didik agar terjadi proses pendidikan yang berkualitas. Jangan lagi ruwet-ruwet, jangan lagi mbulet-mbulet. Semuanya harus disederhanakan”. Mungkin hendak menjawab kegelisahan tersebut, Sang Presiden pun memilih Nadiem Makarim, yang bukan berlatar belakang bidang (birokrasi) pendidikan sebagai Mentri Pendidikan dan Kebudayaan.
Persoalannya adalah kenapa isu beban administratif ini terus mengemuka? Untuk mendeteksi jawaban atas pertanyaan ini, setidaknya, kita bisa melacak dari metamorfosis peraturan perundang-undangan dalam memberikan gambaran profil guru itu seperti apa.
Belenggu Administrasi
Pada mulanya, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) tahun 2005 pasal 10, seorang guru sebagai pendidik profesional harus memiliki beberapa kompetensi. Beberapa kompetensi tersebut, di antaranya, adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Sejalan dengan amanat Undang-undang ini, profesionalitas seorang guru dinilai dari sejauh mana dia mampu mencerdaskan peserta didik, menjalankan prinsip pembelajaran secara terstruktur dan memastikan peserta didik bisa mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dengan baik.
Akan tetapi, pemerintah menambahkan peran guru sebagai administratur agar penyelenggaraan pendidikan berlangsung tertib dan teratur. Sebagai konsekuensi dari peran administratur, seorang guru dilibatkan dalam, misalnya, administrasi kurikulum, kesiswaan, kepegawaian (personal), keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah-masyarakat dan administrasi layanan khusus, seperti UKS (Unit Kesehatan Sekolah), kafetaria, perparkiran dan lain lain.
Penambahan beban administratif tersebut, pada perkembangannya justru bergulir menjadi bola liar sehingga porsi administratif lebih besar dibandingkan dengan porsi mengajar di kelas. Misalnya, guru diwajibkan membuat laporan kinerja harian, per tiga bulan wajib mengajukan pencairan sertifikasi. Di luar itu, guru juga disibukkan dengan urusan birokrasi saat mengurus BOS, Dapodik, dan lain-lain.
Di luar itu masih ada forum lain seperti Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan lain lain. Bahkan, berdasarkan pengalaman penulis dalam mendampingi pengelolaan sekolah, pengawas dalam menjalankan tugasnya juga sangat bertumpu pada aspek adiministratif. Alih-alih mengevaluasi efektivitas proses pembelajaran, mereka justru sibuk mengurusi ada tidaknya gambar pahlawan di ruang kelas, ada tidaknya buku tamu, dan lain-lain. Dari ini saja, fokus guru secara sistematis tertuju pada pemenuhan unsur-unsur administratif.
Inilah sebabnya, menurut saya, beberapa alasan kenapa batasan antara tugas guru yang substantif dan yang tidak substantif menjadi kabur. Kaburnya batasan ini, pada gilirannya, menyebabkan guru tidak fokus pada tugas substantifnya. Akibatnya, wajah pendidikan kita kerap dilanda rmasalah. Misalnya, saking sibuknya dengan urusan administratif, waktu yang tersisa bagi seorang guru untuk menjalin keintiman dengan peserta didik menjadi berkurang dan kian berjarak. Intensitas hubungan emosional dan pengawasan guru terhadap peserta didik juga tidak maksimal. Dari situlah, muncul beberapa masalah yang kemudian diperparah dengan akses informasi dunia maya yang kian terbuka. Dengan tanpa bimbingan yang memadai, siswa bisa terpapar dampak negatif internet, seperti pornografi, kecenderungan bersikap asosial dan gangguan kesehatan lainnya.
Kembali ke Substansi
Dari paparan di atas, kita bisa mengetahui tugas guru menjadi kian berat. Beratnya beban guru makin bertambah dengan target Kurikulum 2013 yang menuntut guru untuk lebih banyak waktu untuk mendampingi siswa. Berbeda dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang lebih menekankan ranah pengetahuan, Kurikulum 2013 lebih menekankan keseimbangan antara soft skills dan hard skills. Yakni, keseimbangan antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Pada ranah soft skills saja, misalnya, pembelajaran menekankan aspek 4 kompetensi, yaitu; communication, colaboration, critical thinking and problem solving, dan creativity and innovation).
Konsekuensinya, aksentuasi pembelajaran tidak melulu pada aspek pengetahuan. Lebih dari itu, peserta didik harus terus distimulasi agar mampu berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif dan kreatif. Singkatnya, pada kurikulum 2013, guru dituntut untuk menjadi agent of values ketimbang agent of knowledge.
Implikasi dari peran guru sebagai agent of values tidaklah sederhana. Selain harus menguasai materi, guru dituntut untuk merencanakan aktivitas kelas yang mengacu pada tujuan pembelajaran dan merencanakan evaluasi untuk menilai berhasil tidaknya pembelajaran tersebut. Begitu rangkaian kegiatan ini selesai, guru masih dituntut untuk mengevaluasi proses tersebut. Pada saat bersamaan, guru harus menjadi fasilitator siswa yang sabar dalam membimbing dan menemukan potensinya. Tentu butuh waktu banyak bukan?
Betul, guru membutuhkan waktu lebih banyak untuk menjalankan tugas tersebut, apalagi mengingat pembelajaran yang berorientasi pada nilai (values) memiliki dimensi yang lebih kompleks. Untuk itu, guru perlu mengantisipasinya dengan beberapa langkah. Salah satunya adalah dengan terus melakukan inovasi pembelajaran yang kreatif. Untuk memenuhi aspek ini, guru dituntut untuk menggali informasi, mempersiapkan perangkat pembelajaran yang baik dan terus mengevalusi proses yang sudah dijalankan. Sebagai konsekuensi dari pendekatan ini, guru tidak bisa hanya mengandalkan materi ajar yang berbasis buku teks saja. Lebih jauh, ketrampilan sosial peserta didik harus diasah dengan variasi program yang terstruktur dengan target dan indikator yang terukur.
Merujuk pada makin kompleksnya tugas guru, maka wajar bila guru diberikan keleluasaan waktu yang memadai guna mempersiapkan pembelajaran yang baik. Nah, dalam situasi guru mendapat tuntutan untuk menyelesaikan kegiatan administratif yang banyak, seluruh aparatus pendidikan, termasuk guru di dalamnya, mestinya menyadari dan bisa memilah mana yang substantif dan mana yang tidak. Mana yang utama dan mana yang menjadi penunjang saja. Sehingga beban kerja non substantif administratif, misalnya, tidak boleh mengalahkan tugas substantif. Beban administratif, dengan demikian, perlu dikurangi dan guru dikondisikan agar fokus pada tugas substantifnya dalam rangka mengembangkan kemampuan profesionalnya
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Setidaknya ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengurai persoalan ini.
Pertama dengan reorientasi administrasi. Administrasi pendidikan harus diletakkan sebagai instrumen pengendalian kerja sama antar pelaku pendidikan untuk mendeteksi efektivitas pembelajaran dan mencapai tujuan pendidikan itu sendiri, bukan tujuan. Tidaklah tepat kiranya bila kita menganggap administrasi sebagai instrumen yang rigid yang tidak bisa disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing tempat.
Kedua penyederhanaan administrasi sehingga proses yang dijalani oleh guru menjadi lebih cepat. Di era teknologi seperti saat ini, tersedia banyak perangkat lunak (software) yang bisa digunakan untuk aneka fungsi, seperti membuat pelaporan keuangan, data perkembangan akademik dan karakter siswa dan lain-lain. Penyederhanaan administrasi juga bisa dilakukan, misalnya, dalam membuat RPP. Guru cukup mencantumkan elemen penting yang menuntun pada persiapan, penyelenggaraa dan evaluasi pembelajaran. Informasi normatif yang tidak terlalu relevan untuk mengembangakn pembelajaran bisa dikesampingkan.
Walhasil, dengan ikhtiar tersebut di atas, kita berharap guru bisa kembali memiliki waktu untuk meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi pedagogis, kepribadian maupun sosial. Beban administratif yang berat harus dikurangi dan, kalau perlu, disiasati agar tidak menyita terlalu banyak waktu yang ada. Tentu, tulisan ini tidak dalam posisi menilai peran administratif tidak penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang menjadi poin utama adalah bagaimana memberikan batasan yang jelas mana yang substantif dan mana yang bukan, yang dengannya, guru bisa menentukan mana yang harus dijadikan fokus. Dengan begitu, guru diharapkan mampu menjadi pendidik yang sebenarnya yang bekerja dengan tenang, mendidik sepenuh hati dan bisa berkonsentrasi mendampingi peserta didik dengan optimal. Wallahu a’lam bishshawwab.
[RAN/Foto Dok Pribadi]
Berbicara mengenai pendidikan tentunya tidak hanya guru, apalagi meluas pada pendidikan indonesia. Tentang beban guru yang begitu berat dirasakan memang seharusnya tidak terjadi, tetapi begitulah kualifikasi seorang guru.
Memang berat dirasakan bagi guru yang tidak cukup cakap dalam menjalankan peran guru. Tapi akan dijalankan dengan kreatifitas yang brilian dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, apalagi budaya kita yang selalu berinovasi dalam pengembangan kurikulum, sebagai negara berkembang tentu ini adalah sebuah langkah yang bagus. Artinya kurikulum kita hidup,beradaptasi, dan tumbuh.
Memang berat jadi guru, tapi hanya bagi guru yang alergi terhadap perubahan, yang hanya berpikiran mengajar, mendidik menjadi hilang dalam pendidikan itu sendiri. Real curriculum menjadi pokok acuan, hidden curriculum hilang tenggelam dalam istilahnya.
Sampai kapan kita akan berseturu dengan kebijakan pendidikan?