RUU Cipta Kerja Berpotensi Meniadakan Peran Ulama dalam Sertifikasi Halal

Fatwa produk halal, harus ditetapkan oleh MUI bukan diserahkan kepada ormas-ormas Islam, apalagi oleh orang-perseorangan. Setidaknya ntuk menghindari perbedaan fatwa.

[JAKARTA, MASJIDUNA] — Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang menggunakan metoda omnibus law  terus menuai cibiran dan kritikan dari masyarakat. Kali ini, RUU Cipta Kerja dikhawatirkan berpotensi meniadakan peran ulama dalam proses sertifikasi. Padahal selama ini, proses sertifikasi tak lepas dari peran ulama.

Kritikan itu keluar dari Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah. Dia meunjuk ketentuan Pasal 1 angka 10. Klausul itu berpotensi pengambilalihan fatwa prduk dari ulama kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Pasal 1 angka 10 menyebutkan, “Sertifikasi Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal”.

“Maka kami berpandangan bahwa hukum agama telah dikooptasi oleh hukum negara. Sejak kapan BPJPH diberikan hak oleh negara menjadi komisi fatwa? Bukankah itu ranah dan kewenangan ulama?,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (17/2).

Sedangkan Pasal 1 angka 10 pada UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan, “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI”. Menurutnya, ketentuan UU yang sudah diterima dan berlaku di masyarakat harusnya diperkuat negara, bukan sebaliknya malah dicerabut.

Dia berpandangan, bila RUU Cipta Lapangan Kerja mengesahkan ketentuan pasal 1 angka 10,  maka sama halnya BPJPH, Kementerian Agama dan Negara mendelegitimasi peran-peran lembaga keagamaan khususnya MUI. Sementara, kata Ikhsan,  terminologi halal dan haram, merupakan hukum agama  hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi keulamaan.

Fatwa produk halal, kata dia, harus ditetapkan oleh MUI bukan diserahkan kepada ormas-ormas Islam, apalagi oleh orang-perseorangan. Nah untuk menghindari perbedaan fatwa sudah tepat bahwa penetapan fatwa atas produk halal dilakukan MUI. Sebaliknya bila diberikan kepada negara, segelintir ormas atau perseorangan justru dapat memecah belah umat Islam itu sendiri.

Menurutnya, MUI adalah tempat bernaungnya ormas Islam, berhimpunnya ulama, zuama (pimpinan organisasi Islam) dan cendekiawan Muslim, dari Nahdhlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar dan 59 ormas Islam lainnya.

“Justru dalam rangka menentramkan konsumen dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, maka ketentuan kehalalan produk harus berdasarkan ketentuan fatwa MUI dan bukan dari yang lain,” pungkasnya.

[AHR/Ant/ilustrasi: hidayatullah ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *