Inspirasi Pendidikan (Kesejukan Embun Subuh)

Oleh: Noryamin Aini (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta)

[JAKARTA, MASJIDUNA] – Sahabat! Tiba-tiba saya ingat adagium lama ini “Life is a long education.” Ini narasi reflektifnya bahwa pendidikan bukan sebatas pengajaran (teaching). Ia juga bukan sekedar pengenalan (introducing), pengetahuan (knowing), pemahaman (understanding), dan hafalan (memorizing) terhadap materi ajar. 

Pendidikan adalah proses pergumulan abadi untuk menjadi baik, dan terus menjadi lebih baik. Pendidikan, sejatinya, adalah agenda programatik yang emansipatoris, juga media affirmatif. Semua gerak kerjanya dinamis dan dialektis. Semua bertujuan untuk menggandakan daya gaya sentripetal dan sentrifugal spirit (ghiroh) batin yang keukeuh membela moralitas dan akhlak muliah. Pengelolaan dan eksekusinya dalam bingkai (blue print) qalbu dan tekad hidup untuk tenggelam menjalani kegiatan sepanjang hidup dalam spirit moral, etis, religius, sosial, kultural, dan intelektual. 

Kualitas adiluhung yang diperjuangkan dalam pendidikan, sejatinya, adalah kesadaran eksistensial untuk menggumuli dan “menyetubuhi” (menyatukan) ilmu ke dalam batin dan kesadaran diri peserta didik. Nilai-nilai moral, etis (akhlak mulia), religius, sosial, kultural, dan intelektual di atas menjadi prinsip dan modal dasar untuk peserta didik (pendidik) menjadi manusia sempurna (insan kamil). Nilai-nilai ini diajarkan melalui proses pembelajaran, dan disisipkan ke dalam sejumlah mata pelajaran/kuliah.

Dengan kata lain, esensi pendidikan “jangan” direduksi, atau dikerutkan sebatas target pragmatis-praktis untuk mengetahui (knowing), memahami (understanding), dan menghafal (memorizing) materi ajar. Pendidikan yang berorientasi knowing, understanding, dan memorizing hanya kulit ari esensi pendidikan. Kualitas pendidikan model ini lazim menekankan pada unsur kognitif dan pragmatis.

Ciri pendidikan yang berorientasi knowing, understanding, dan memorizing mewujud dalam banyak jumlah mata pelajaran, tentu dengan setumpuk satuan materi ajar. Prosesnya hanya di ruang belajar, tanpa menekankan aspek penerapan dan pengalaman peserta terkait aplikasi materi ajar.

Uniknya, tradisi dunia pendidikan kita, secara kultural, masih terlihat lebih menekankan dimensi pendidikan yang berorientasi pada capaian kognitif (knowing, understanding, dan memorizing). Tolok ukur capaiannya adalah angka-angka yang dibanggakan di raport. Angka nilai buruk dihujat dan sering dilabeli dengan warna merah, sebagai simbol “kemarahan”.

Sahabat!

Banyak ironi pendidikan dalam kultur masyarakat kita. Lazim, para orangtua peserta didik merasa bangga jika anaknya mendapat nilai super dari hasil ujian, tanpa mereka pernah menanyakan kejujuran anak saat mengerjakan soal ujian. Bahkan, ada orangtua yang marah kepada sekolah, juga guru-dosen, saat anaknya tidak naik kelas, atau mendapat nilai ujian akhir yang rendah.

Di sisi lain, sekolah juga merasa bangga dengan prestasi peserta didiknya dengan capaian prestasi angka-angka istimewa di atas dengan memberikan “judicium” super (cumlude-mumtāz) pada peserta didik. Selain ijazah, sekolah/kampus juga menghadiahi maha-siswa yang beraport super dengan sertifikat “TELADAN.”

Satu contoh ironi lain dari distorsi model pendidikan di atas terjadi waktu evaluasi hasil pendidikan. Saat menjawab soal materi ajar tentang moralitas kejujuran, ada peserta didik yang justru berlaku tidak jujur. Dia “NYONTEK” saat mengerjakan materi ujian kejujuran. Saat nyontek ketahuan, astaghfirullah, pengawasnya justru tidak mempedulikan penyimpangan ini. 

“Renungan”

Dengan model pendidikan di atas, lembaga pendidikan di negara kita terkesan seperti “pabrik” yang memproduksi alumni dengan mengabaikan kualitas lulusan dan entitas substansial dari nilai-nilai dasar pendidikan. Lembaga pendidikan kita lebih berfungsi sebagai “Lembaga Sertifikasi” yang “hanya mampu dan bangga memberi ijazah-sertifikat” kepada para anak bangsa.

Sejatinya pendidikan adalah proses pembentukan “karakter” yang kaya dengan dan berkarakter nilai-nilai “integritas”, “akhlak mulia”, dan “moralitas” kejujuran, terutama. Semua nilai-nilai ini merupakan landasan untuk membangun peserta didik  yang kelak lebih beradab, lebih bermoral, dan lebih berakhlak mulia dalam perilaku keseharian. 

Sahabat!

Tolok ukur capaian hasil pendidikan “BUKAN SEKADAR ANGKA-ANGKA AKADEMIK seperti yang tertera di buku-buku raport sekolah ataupun Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) seorang sarjana.

Integritas, kejujuran, akhlak, dan moralitas adalah prioritas utama sebagai target capaian pendidikan. Standar kepintaran (kognisi) yang terukur dengan capaian angka, sejatinya, tidak perlu dirisaukan, karena kapasitas kepintaran seseorang dapat dikembangkan di kemudian hari. Jauh lebih perlu juga  dicatat bahwa  setiap peserta didik, hakikatnya, sudah terlahir pintar dengan modal ilahi yang dibekali sejak zaman azali. 

Di sini, dengan janji-Nya, Allah telah membekali setiap manusia secara sama dan merata dengan modal dasar moralitas dan akhlak yang “baik” (taqwā) dan “buruk” (fujūr). Proses pendidikan yang baik dan tepat akan mampu mengolah dan mengelola potensi baik dan buruk tersebut, lalu pada akhirnya, proses pendidikan dapat menghasilkan peserta didik yang religius, bermoral, dan berakhlak mulia.

Oleh sebab itu, seyogyanya, pengelola pendidikan, orangtua dan peserta didik, tidak perlu terlalu galau, bahkan risau, jika seorang peserta belum berprestasi tinggi di literasi baca tulis hitung, terutama di tingkat pendidikan dasar. 

Sebaliknya, kita harus peduli jika seorang anak/peserta didik bersikap dan berperilaku tidak jujur, dan berakhlak buruk yang berefek pada keburukan publik. Ingatlah bahwa pendidikan “bukan persiapan untuk hidup” yang berhenti kalau target capaiannya sudah digapai. 

Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Karenanya, pendidikan adalah pergumulan abadi, seumur hidup untuk “menyetubuhi” materi ajar guna menyatu dalam batin dan kesadaran integratif peserta didik untuk terus dan abadi menjadi manusia yang bermoral, berakhlak mulia, dan berperilaku sosial yang santun, manusiawi, toleran, dan inklusif, serta menghargai sesama. 

“Life is a long education”

[RAN/Foto: https://www.kn-lwf.org/komite-nasional-lutheran-world-federation-akan-tingkatkan-pelayanan-dalam-pendidikan/]

One thought on “Inspirasi Pendidikan (Kesejukan Embun Subuh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *