Agama Harus Punya Peran Cegah Kerusakan Lingkungan

[JAKARTA, MASJIDUNA]-–Bertempat di di Nobel Peace Center di Oslo, Norwegia, pada 19 Juni 2017 para agamawan berkumpul. Mereka meluncurkan program “Interfaith Rainforest Initiative” yang diselenggarakan oleh Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, dan dipimpin oleh Raja Harald V dari Norwegia.

Dalam pertemuan puncak itu hadir pemimpin agama Kristen, Islam, Yahudi, Budha, Hindu, dan Tao bergabung dengan masyarakat adat dari Brasil, Kolombia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Meso-Amerika dan Peru untuk membuat perlindungan hutan tropis menjadi prioritas moral bagi komunitas agama dunia.

Prakarsa ini bergerak secara global untuk membawakan suara moral tentang perlindungan hutan ke forum pembuat kebijakan internasional tentang lingkungan, perubahan iklim, masalah masyarakat adat dan pembangunan berkelanjutan. Prakarsa bekerja melalui program nasional di Brazil, Kolombia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia dan Peru – lima negara yang memiliki lebih dari 70 persen hutan tropis dunia yang tersisa.

Lalu apakah setelah dua tahun berlalu suara kaum agamawan itu makin kuat dalam pelestarian lingkungan? Masih belum jelas. Namun kerusakan alam terus terjadi bahkan semakin masif.

Untuk menindaklanjuti inisiatif Oslo tersebut, maka di Indonesia diselenggarakan Prakarsa Lintas Agama Untuk Hutan Tropis atau Interfaith Rainforest Initiative (IRI), sebuah aliansi internasional lintas agama yang berupaya memberikan urgensi moral dan kepemimpinan berbasis agama pada upaya global untuk mengakhiri penggundulan hutan tropis.

Ini merupakan wadah bagi para pemimpin agama dan komunitas agama untuk bekerja bahu-membahu dengan masyarakat adat, pemerintah, LSM, dan bisnis terkait aksi-aksi untuk melindungi hutan tropis dan hak-hak mereka yang berperan sebagai pelindungnya. Prakarsa ini percaya bahwa sudah tiba saatnya bagi gerakan dunia untuk merawat hutan tropis, yang didasarkan pada nilai yang melekat pada hutan, dan diilhami oleh nilai-nilai, etika, dan panduan moral keagamaan.

“Telah banyak usaha yang dilakukan dalam upaya melestarikan hutan tropis di dunia. Namun upaya upaya tersebut tidaklah cukup dan ditemukan tantangan dalam pengelolaan alam adalah berakar dari moral manusia dan agama menjadi penting untuk dapat terlibat dalam mengelola moral manusia tersebut,” kata Prof. Din Syamsuddin, Ketua Kehormatan Presidium Inter Religious Council Indonesia dalam acara pembukaan di Jakarta, Kamis (29/1/2020).

Agama dan masyarakat adat dapat tampil berperan lebih untuk mengingatkan manusia agar tidak melakukan kerusakan. Disamping itu, sudah lazim, bahwa masyarakat yang berada di kawasan pedesaan dengan adat istiadat yang dijunjung tinggi, mereka lebih mudah melakukan adaptasi atas modalitas dan moralitas yang mereka miliki, sehingga pendekatan dengan para pemuka atau tokoh masyarakat setempat dapat menjadi agen perubahan (agent of change) untuk mendorong perubahan perilaku dalam melestarikan hutan hujan tropis.

Acara dihadiri oleh elemen agama dan masyarakat adat, terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) , Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Persatuan Umat Budha Indonesia (PERMABUDHI), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), Aliansi Masyarakat adat Nusantara (AMAN) dan para ahli, LSM, pemerintah, serta komponen organisasi internasional, seperti PBB (UNEP), Religions for Peace, Rainforest Foundation Norway, dan GreenFaith, menyerukan pentingnya melindungi hutan tropis di Indonesia.

(IMF/foto;masjiduna.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *