Lebaran dan Tradisi Berbagi Berbalut Nilai Agama

Kemenag Sumatera Barat berbagi takhjil di Panti Asuhan Mentawai (Sumber: kemenag sumbar)

[JAKARTA, MASJIDUNA]– Lebaran di tanah air, punya tradisi unik yang berbeda, bahkan termasuk dengan negara-negara Islam lain di dunia. Salah satunya adalah kemeriahan mudik dan tradisi bersalam-salaman sambil berbagi di setiap rumah tangga.

Mastuki, Kepala Pusdiklat Tenaga Kementerian Agama , dalam situs kemenag mengungkapkan pikirannya tentang tradisi berbagi Lebaran di tanah air. Menurutnya, di antara sekian banyak keunikan lebaran di Indonesia adalah tradisi berbagi. Begini penjelasannya:

Baca Juga: Tradisi Lebaran Pertama dan Kedua, Kebijakan Masa Lalu demi Kemaslahatan Bersama

Hampir setiap rumah dan keluarga selalu menyediakan aneka penganan untuk menerima tamu dan handai taulan yang akan silaturahmi dan halal bihalal.

Kudapan khas selalu menghiasi setiap rumah dan disajikan dengan caranya yang khas. Ditata di atas meja secara apik, dengan aneka toples dan pernak-pernik peralatan rumah, belum lagi hiasan rumah yang diupayakan baru atau diperbaharui melengkapi keramahtamahan pemilik rumah yang tiada tara saat lebaran.

Di kampung-kampung (terutama Jawa yang saya ketahui), pemandangan umum saat lebaran adalah hilir mudik orang yang berkunjung dan anjangsana dari rumah ke rumah sambil membawa tentengan berupa makanan dengan wadah beraneka, sesuai tradisi yang berlaku.

Tua-muda, laki-perempuan, dewasa-anak-anak. Pasangan atau jomblo. Setiap anggota keluarga dari keluarga besar saling berkunjung ke rumah kediaman saudaranya. Yang muda berkunjung ke yang lebih tua. Handai taulan berkumpul di rumah induk dari keluarga yang dituakan. Jamuan makan bersama. Berbagi makanan, bertukar barang bawaan. Menyediakan sajian terbaik. Membagikan yang terbaik yang dimiliki.

Tradisi berbagi tampak juga pada kebiasaan setiap kepala rumah tangga –apapun kondisinya, hatta di kampung dan pedalaman sekalipun– berupaya menyisihkan “uang kecil” untuk disedekahkan kepada anak-anak yang datang ke rumahnya. Suasana ini paling ditunggu anak-anak yang dengan keriangan mengenakan pakaian baru dan kepolosan sikap mendatangi rumah ke rumah (door to door) berharap amplop.

Justru suasana paling menyenangkan dan berkesan bagi anak-anak adalah menerima angpao lebaran dari setiap rumah yang didatangi. Lagi-lagi ajaran bersedekah, berderma dalam ajaran Islam bertransformasi menjadi “membagikan uang kecil” tanda kebahagiaan untuk anak-anak, siapapun mereka dan tanpa memandang latar belakang keluarga.

Baca Juga: Sadio Mane, Sepak Bola Memberinya Kekayaan untuk Berbagi

Lebaran adalah momen berbagi tapi sekaligus selebrasi keakraban, kekeluargaan, kebersamaan, dan keramahtamahan paling sakral dan naturally menunjukkan keaslian. Keaslian sikap hidup orang Indonesia. Kelangkaan budaya yang berulang setiap tahun, tapi tak lekang dimakan zaman. Tradisi yang mentradisi. Budaya adiluhung yang diinspirasi nilai-nilai luhur agama. Budaya yang menyerap agama, atau (nilai) agama yang mentradisi.

Silaturahmi dan musafahah (berjabat tangan) terserap ke budaya salam-salaman dari rumah ke rumah, di ruang publik, bahkan di jagat maya dengan fasilitas medsos. Silaturahmi, memaafkan dan berjabat tangan itu ajaran agama. Berkunjung, anjangsana, dan halal bihalal adalah produk budaya khas Indonesia. Lebaran mempertemukan nilai dan ajaran agama itu dalam budaya bermaafan tulus antar warga, antar keluarga, antar sesama yang tak terperi.

Setiap orang secara rela dan merelakan dirinya meminta maaf dan memaafkan. Memberi dan membagi. Hanya ada wajah cerah ceria dan bergembira. Hati yang ikhlas dan mengikhlaskan. Sikap apa adanya dan tak dibuat-buat, jauh dari niat pencitraan. Itu semua terjadi di momen lebaran.

Saya bisa mengatakan bahwa lebaran –budaya khas Indonesia merayakan hari kemenangan Idul Fitri yang tak ada duanya di dunia– itu telah menjadi “ruang pertemuan” dan “ruang budaya” yang sarat nilai. Lebaran mempertemukan ajaran yang sakral dan budaya yang profan. Antara ushuli dan furu’i. Yang universal dan partikular. Yang kulliyat dan juz’iyat.

Lebaran mencontohkan nilai agama yang menyatu ke dalam budaya. Budaya yang menjadi lahan penyemaian nilai agama. Karenanya, agama dan budaya di Indonesia tak saling bertentangan, bahkan dengan sendirinya saling membutuhkan. Agama membutuhkan wadah budaya untuk bisa diterima dan sampai ke pemeluknya. Budaya menjadi ruang aktualisasi nilai-nilai agama. Wallahu a’lam.

(IMF/sumber: kementerian agama)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *