Bercita-Cita Menjadi Penghafal Al-Quran

Menjadi seorang santri sudah menjadi pilihannya. Apapun rintangannya akan coba ia tepis.

[JAKARTA, MASJIDUNA] —- Matahari meninggi di penghujung Januari 2023. Sekumpulan santri bergerombol menghabiskan waktu istirahatnya. Tampak seorang santri sedang berdiri di sudut masjid sambil bergumam dengan seseorang melalui ponsel yang ia genggam.

Muhammad Nur Fadil, dia punya namanya. Anak laki biasa disapa Fadil itu meminjam telepon kantor di pondok pesantren Tahfidzul Qur’an Mustofa Asy’ari tempatnya mengenyam pendidikan agama. Rupanya Fadil hendak menyambung bicara dengan ibunya, agar menengok dirinya di penghujung bulan mendatang.

Ketika Fadil duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar, ia berkeinginan untuk menjadi santri pondok pesantren. “Pengen mondok karena pengen mandiri bisa merasakan hidup sendiri dan bisa menghafal Al-Qur’an,” tuturnya malu-malu.

Sedari kecil Fadil belum merasakan sekolah berbasis tahfizh. Ini kali pertama Fadil menghafal Al-Qur’an. “Pas malam hari pertama itu nangis, keinget rumah kayak pengen pulang,” ujarnya bercerita.

Menjadi seorang santri sudah menjadi pilihannya. Apapun rintangannya akan coba ia tepis. Satu semester telah ia lewati. Fadil telah menghafalkan satu setengah juz Al Qur’an. Setiap pukul 07.00 hingga 12.00 WIB Fadil menghabiskan waktunya untuk belajar pelajaran sekolah formal.

Selesai sekolah, Fadil menjalani aktivitas pesantrennya mulai dari menulis Al-Qur’an hingga setoran ia tuntaskan sebagai ikhtiarnya untuk bisa menambah dan menjaga hafalannya.  Lembar demi lembar setiap harinya ia hafalkan sebagai ikhtiarnya untuk dapat membuat orang tuanya bangga.

Ayah Fadil adalah seorang tukang cat perkakas melamin dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Fadil ingin salah satu di keluarga kecilnya hafal Al-Qur’an. Anak pertama yang memiliki adik laki-laki, Fadil ingin menjadi teladan bagi adiknya sebagai penghafal Al-Qur’an. Ayah, Ibu, dan adiknya rutin menyambanginya di pesantren. Setiap bulan Fadil diberi uang saku Rp200 ribu, tetapi tidak ia habiskan.

“Uang sakunya Rp200 ribu itu tidak habis terus karena kalo di pesantren nggak pernah laundry jadi uangnya cuma buat jajan atau beli kebutuhan, kalau sisa ya disimpan,” jelasnya sambil meringis.

Tawa itu semakin lebar ketika ia diberi hadiah Al-Qur’an baru dari PPPA Daarul Qur’an Yogyakarta yang bersinergi dengan Beramaljariyah.org dan Evermos. Mulutnya tak henti mengucapkan terima kasih dan semoga Al-Qur’an baru membawa Fadil menjadi penghafal Al-Qur’an sesuai cita-citanya.

[Red/Foto: istimewa]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *