[JAKARTA, MASJIDUNA] — Di antara persoalan yang sering ditanyakan masyarakat muslim Indonesia ialah hukum sunat perempuan dalam Islam. Harus diakui persoalan ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat kita. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum khitan bagi perempuan?
Terkait hukum sunat perempuan, bila merujuk pada keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2008, yang menegaskan bahwa sunat bagi wanita merupakan bagian dari syiar Islam, yang tidak boleh dilarang dilakukan. Sementara di sisi lain, pun tak boleh diwajibkan. Sebab sunat perempuan, bukanlah suatu kewajiban. Bahkan tak boleh dilakukan bila dapat menimbulkan bahaya kepadanya.
“MUI 2008 memandang bahwa hukum sunat perempuan sebagai bagian syi’ar Islam, yang tidak boleh kita larang, tetapi juga tidak wajib dilakukan. Jika pun terpaksa ada yang melakukan, harus dengan syarat ketat tidak menimbulkan dharar (dampak buruk atau rusak), tidak memotong atau melukai klitoris, hanya menghilangkan sedikit saja selaput yang menutup klitoris.” (M. Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa MUI tentang Khitan Perempuan, Jurnal Ahkam: Vol XII, No. 2, Juli 2012, halaman 35-46).
Dalam persoalan khitan perempuan, sebagaimana dikutip dari Fatwa MUI, dalam tinjauan fikih ada tiga hukum menurut ulama tentang sunat perempuan:
Pertama, khitan hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi (Hasyiah Ibnu Abidin: 5479), Mazhab Maliki (Al-Syarh Al-Shaghir: 2151), dan Syafii dalam riwayat yang syaz (Al-Majmu: 1300).
Menurut pandangan mereka khitan itu hukumnya hanya sunnah bukan wajib. Ia hanyalah fithrah dan syiar Islam. Khusus khitan bagi perempuan, mereka yaitu mazhab Maliki, mazhab Hanafi dan Hanbali memandang bahwa hukumnya Sunnah.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ibnu Abbas marfu` kepada Rasulullah SAW:
الخِتانُ سُنَّةٌ لِلرِّجالِ، مَكرُمَةٌ لِلنِّساءِ
“Khitan itu sunnah buat laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan.” (HR Ahmad dan Baihaqi).
Selain itu mereka juga berdalil bahwa khitan itu hukumnya sunnah bukan wajib karena disebutkan dalam hadis bahwa khitan itu bagian dari fithrah dan disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua itu hukumnya sunnah. Karena itu, khitan pun sunnah pula hukumnya.
Kedua, khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah, pendapat ini didukung oleh mazhab Syafii (Al-Majmu: 1284/285; al-Muntaqa 7232), Mazhab Hanbali (Kasysyaf Al-Qanna180, dan al-Inshaaf 1123).
Mereka mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib baik baik laki-laki maupun bagi perempuan. Dalil yang mereka gunakan adalah ayat Al-Quran dan sunnah:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
“Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus” (QS. Al-Nahl: 123). Dan hadis:
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ -عَلَيْهِ السَّلاَمُ- وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالقَدُّومِ
”Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Nabi Ibrahim as berkhitan saat berusia 80 dengan kapak” (HR Bukhari dan muslim). Kita diperintah untuk mengikuti millah Ibrahim as. karena merupakan bagian dari syariat kita juga.
Dan juga hadits yang berbunyi:
ألْقِ عنك شعرَ الكفرَ واختتِنْ
“Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah” (HR Ibn al-Qaffaal).
Pada sisi lain, menurut Syekh Nawawi Banten, dalam kitab Nihayatuz Zain halaman 358, hukum sunat adalah wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan, dan wajib untuk menyegerakan sunat bagi keduanya ketika sudah baligh atau sudah mempunyai akal. Jika tidak dikhawatirkan akan berdampak bahaya, dan jika khawatir, maka harus ditunggu sampai tidak dikhawatirkan kembali.
(ووجب ختان) لذكر وأنثى إن لم يولدا مختونين (ببلوغ) وعقل لانتفاء التكليف قبلهما فيجب ذلك فورا بعدهما ما لم يخف من الختان في ذلك الزمن وإلا أخر إلى أن يغلب الظن السلامة
“Wajib sunat bagi laki-laki dan perempuan jika tidak dilahirkan dalam keadaan sunat. Kewajiban itu apabila sudah baligh dan mempunyai akal. Sebab tanpa keduanya, seseorang tidak memiliki kewajiban sebelumnya. Oleh karena itu, wajib sunat dengan segera jika sudah baligh dan punya akal, apabila tidak dikhawatirkan (bahaya) dengan sunat tersebut. Jika khawatir, maka akhirkan hingga memiliki prasangka akan keselamatan”.
Ketiga, wajib bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan tapi tidak wajib.(Al-Mughni 185).
Di antara dalil tentang khitan bagi perempuan adalah sebuah hadits meski tidak sampai derajat shahih bahwa Rasulullah SAW pernah menyuruh Ummu ‘Athiyyah, seorang perempuan yang berprofesi sebagai pengkhitan anak perempuan. Rasulullah SAW bersabda:
لا تُنهِكي فإنَّ ذلك أحظى للمرأةِ وأحبُ إلى البَعل
“Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami.”
Dengan demikian, dalam konteks khitan perempuan dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai kepada pangkalnya agar tidak menimbulkan penyakit dan kecacatan. Pun khitan bagi perempuan lebih kepada sifat pemuliaan semata.
(Sumber:Tim Layanan Syariah Bimas Islam Kemenag/ilustrasi alat operasi: Dok: Shutterstock]