[JAKARTA, MASJIDUNA] — Kebijakan Pemerintah Saudi atas pelarangan jamaah umrah asal Indonesia masuk ke tanah Mekah menjadi sorotan publik. Dampak dari kebijakan itu terjadi penundaan keberangkatan umrah. Ketidakpastian itu pun perlu menjadi pelajaran bagi pemerintah. Karena itu, perlunya ada jaminan hak-hak jamaah umrah.
“Dalam kondisi yang serba belum pasti seperti sekarang, pemerintah sudah saatnya membentuk Ciris Centre (pusat kirisis) yang terdiri dari lintas kementerian dan lembaga,” ujar Ketua Komisi Nasional (Komnas) Haji dan Umrah, Mustolih Siradj melalui keterangan terulis, Sabtu (29/2).
Menurutnya, kementerian agama menjadi leading sector, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan juga organisasi penyelenggara jasa umrah. Baginya, persoalan penundaan keberangkatan umrah oleh Arab Saudi, seharusnya tak hanya dipandang dari persoalan untung rugi bisnis semata.
Namun yang lebih diprioritaskan, terkait keselamatan jiwa ribuan jemaah umrah dari ancaman virus corona yang mematikan. Meski pemerintah sampai hari ini keukeuh menyatakan bebas corona, namun tak ada salahnya meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi.
“Oleh karena itu, pembentukan crisis centre ini sudah sangat urgen sebagai pusat informasi memantau dinamika kebijakan dan perkembangan yang terjadi di negara Arab Saudi,” ujarnya.
Selain itu, crisis center pun mendata dan menghimpun jemaah umrah yang batal berangkat dari berbagai travel. Menurutnya sebagai pusat penyebaran dan pusat kontak informasi jemaah melakukan pengaduan untuk menghidari serta meminimalisir agar kabar yang diterima tidak simpang siur. Fungsi lainnya memfasilitasi jemaah yang ingin membatalkan atau meminta pengembalian biaya (refund) ataupun terkait penjadwalan ulang (reschedule) bila situasinya sudah aman dan kondusif.
Dia menilai, crisis centre berfungsi sebagai wadah merumuskan standar operating procedure (SOP) bila terjadi kondisi darurat untuk memfasilitasi jemaah umrah yang sudah terlanjur terbang ke tanah suci. Namun mengalami persoalan kesehatan maupun kendala-kendala di negara transit.
Fungsi lainnya, sebagai wadah pertukaran data maupun informasi bagi penyelenggara jasa umrah untuk mengambil langkah-langkah yang tepat merespon berbagai keluhan dan persoalan yang mereka hadapi, termasuk merespon aspirasi jemaah. Urgensitas crisis centre diperlukan agar informasi yang disampaikan kepada publik benar dan akurat.
“Karena itulah masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP),” katanya.
Dosen Hukum Bisnis Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini menilai, model crisis centre semacam ini pernah dibentuk oleh pemerintah ketika terjadi gagal berangkatnya ribuan jemaah First Travel beberapa waktu lalu. Itu pun melibatkan Kementerian Agama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bareskrim Mabes Polri. Saat itu cukup membantu dan efektif.
“Prinsipnya, kesiapan menghadapi persoalan dengan cara yang lebih terorganisir dalam situasi seperti sekarang ini jauh lebih baik agar tidak berpotensi menjadi bom waktu di belakang hari. Pemerintah harus hadir dan sigap dalam segala kondisi,” pungkasnya.
[AHR/Foto: Tribunnews]