[JAKARTA, MASJIDUNA]-–Sebagai gerakan dakwah, kiprah Muhammadiyah tidak diragukan lagi. Sejak berdiri 107 tahun silam, Muhammadiyah senantiasa menjawab tantangan umat dalam setiap kurun.
Kali ini, melalui Sidang Fikih Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammdiyah yang berlangsung di Aceh, pada 14-16 Oktober 2019, ada tiga agenda tajdid yang diusung Muhammadiyah.
Pertama, dalam masyarakat modern yang sekuler sekalipun agama tetap relevan dan penting dalam kehidupan umat manusia, meskipun ekspresi dan aktualisasinya tidak bersifat langsung dan dalam kehidupan bernegara terjadi pemisahan antara domain publik dan agama. Demikian disampaikan Ketua PP Muhammdiyah Haedar Nashir saat memberikan sambutan, Senin malam (14/10/2019).
“Di kalangan umat Islam ditandai dengan meningkatnya jumlah jamaah haji dan umrah setiap tahun, bahkan harus menunggu berpuluh tahun untuk haji. Demikian pula kegiatan pengajian-pengajian dan majelis-majelis taklim, majelis dzikir, gerakan shalat berjamaah, dan berbagai ritual dan simbolik yang menunjukkan identitas keagamaan,” jelas Haedar.
Kedua, dakwah dan tajdid di era media sosial dan revolusi 4.0. Haedar mengatakan, perkembangan media sosial benar-benar menjadi kenyataan dunia baru bagi masyarakat Indonesia.
“Warga bangsa bukan hanya lekat dengan dunia media sosial (medsos) antara lain melalui gaya hidup gemar berinteraksi melalui twitter, facebook, whatshapp, dan lainnya. Mereka bahkan tergantung pada media digital tersebut, seolah tampak keranjingan, sehingga tiada detik tanpa bermedsos. Bermedsos cenderung bebas, liar, dan apa saja boleh sehingga menjadi sekuler dan liberal,” ujar Haedar.
Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih, menurut Haedar penting menghadirkan pedoman keagamaan atau keislaman untuk “hidup beradab di era medsos dan era 4.0″.
Diperlukan menyusun “Fikih Bermedsos” dalam satu rangkaian dengan “Fikih Informasi” dengan menampilkan “Etika Publik” atau “Etika Relasi Sosial Baru” berbasis “Etika Al-Hujarat”.
“Agenda ini disertai gerakan “Dakwah Komunitas” atau “GJDJ Baru” sebagaimana hasil Muktamar Makassar tahun 2015,” kata Haedar.
Ketiga, penguatan tajdid internal Muhammadiyah. Dunia modern saat ini baik di tingkat global maupun nasional dan lokal antara lain memiliki kecenderungan “mengeras” (radikal, ekstrem) sebagai respons atau terkait dengan situasi kehidupan yang sarat antagonistik dalam berbagai aspek kehidupan.
“Jangan sampai semarak beragama dan penguatan identitas keagamaan yang tinggi menjurus ke ekstrimitas dalam beragama yang ekslusif, verbalistik, dan menimbulkan kecenderungan “ta’arudh” atau “virus bermusuhan” terhadap pihak lain yang berbeda paham dan praktik keagamaan,” harap Haedar. (IMF, Foto PP Muhammadiyah)