[JAKARTA, MASJIDUNA] — Direktur Utama (Dirut) Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thoyyiban (LPH-KHT) PP Muhammadiyah Nadratuzzaman Hosen menegaskan penolakannya terhadap sertfikasi halal dari negara lain. Dia beralasan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) belum memiliki sistem pendaftaran berbasis digitalisasi.
Terlebih, belum adanya pengakuan lembaga pemeriksa halal luar negeri bila sertifikasi halal masuk ke dalam pasar ritel Indonesia. “Masyarakat bingung mana label halal yang dapat dipertanggung jawabkan,” ujarnya sebagaimana dikutip MASJIDUNA dari laman republika, Senin (7/10).
Baginya, rancangan peraturan menteri agama (Repermenag) mesti mengatur pembedaan syarat dan perlakuan sertifikasi halal untuk usaha kecil dan ultra kecil. Lagian, kerjasama antara negara dengan negara terkat sertifikasi halal tidak semudah yang dibayangkan. Sebab banyak negara sekular yang melarang pemerintah terlibah pada pesoalan agama.
“Karena halal masuk ranah agama,” imbuhnya.
Dia berharap BPJPH membuat standar ganda dalam pengakuan lembaga pemeriksa halal luar negeri. Maklum, ketentuan halal selama ini yang berlaku di Indonesia ditentukan oleh komisi fatwa ulama. Karenanya lembaga pemeriksa halal luar negeri pun diputuskan oleh ulama. Termasuk keikutsertaan tanggungjawab soal kehalalan yang dituangkan dalam sertifikasi halal.
Lebih lanjut Nadratuzzaman Hosen berpendapat, auditor halal yang ada pun minim diakui. Sekalipun diakui, itupun terdapat auditor di Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Makanan (LPPOM). Dia menambahkan logo halal seharusnya tetap menggunakan logo Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sudah lazim dikenal masyarakat.
“Dan juga kehalalannya dinyatakan oleh Komisi Fatwa MUI, jadi wajar logo halal MUI, logo ini murah dan meriah tidak membebani pengusaha,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso mengatakan kewajiban bersertifikat halal diberlakukan untuk semua produk baik berupa barang maupun jasa. Namun dia menegaskan, pemberlakuan sertifikasi halal dilakukan secara bertahap.
Sebab aturan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksana UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam beleid itu, menegaskan tentang penahapan kewajiban sertifikasi halal mulai makanan dan minuman.
“Tahap selanjutnya untuk produk selain makanan dan minuman,” ujarnya.
Dia berpandangan, persiapan jelang pemberlakuan sertifikasi halal terus dilakukan BPJPH. Seperti finalisasi Peraturan Menteri Agama (PMA), yang saat ini tengah diharmonisasi dengan kementerian dan instansi terkait.
Staf Ahli Menteri Agama bidang Hukum, Janedjri M Gaffar menambahkan alasan penerapan sertifikasi halal bertahap. Pertama, sudah ada produk yang bersertifikat halal, sebelum diberlakukannya UU 33/2014. Karenanya, persiapan pelaku usaha dan infrastruktur pelaksanaan JPH menjadi pertimbangan dalam penahapan produk berkewajiban halal.
Janedjri menilai, pengaturan penahapan sudah dituangkan secara detil dalam rancangan PMA yang masih dalam tahap harmonisasi dengan instansi terkait. Sementara konsen BPJPH adalah bagaimana masa mulai kewajiban bersertifikat halal itu tidak disalahpahami oleh pihak-pihak tertentu.
Dia mengaku adanya kekhawatiran sejumlah pelaku usaha bakal terjadinya sweeping saat pemberlakuan kewajiban bersertifikat halal itu dimulai. Makanya, pihaknya mengundang pihak Polri dan kementerian lain agar dapat mengantisipasi kesalahpahaman di tengah masyarakat.
“Di sinilah pentingnya sosialisasi secara massif dengan semua kanal media,” pungkasnya.
[GZL/NUonline]