Air Kulah, Tradisi Yang Belum Punah

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Tradisi mengambil air wudhu di kulah yaitu kolam depan masjid, mungkin sudah jarang ditemui saat ini. Apalagi teknologi keran air sudah semakin bagus. Hanya tinggal buka keran, air mengucur untuk berwudhu. Besar dan kecilnya volume air bisa diatur. Lagi pula, bagi yang tidak biasa, mengambil air wudhu di kulah terkesan kotor.

Namun, meski zaman sudah berubah, kulah tidak benar-benar punah. Masih ada masjid dan mushola yang mempertahankan kulah selain juga mempergunakan keran. Ada sedikit modifikasi, kolam buat wudhu itu dibuat dangkal hanya sebatas mata kaki. Fungsinya pun memang hanya untuk membilas kaki sehabis dari kamar mandi atau setelah melepas alas kaki. Sementara untuk berwudhu tetap menggunakan keran.

Hal itu lazim di masjid-masjid di kota besar. Itu pun bila masjid masih punya lahan untuk kulah. Bila lahan sempit, kulah tidak diperlukan lagi.

Masjid Al-Ikhlas di kawasan Tenjo, Kabupatem Bogor, Jawa Barat, misalnya, tetap menyediakan kulah bagi jamaah selain keran. Masjid ini bukan satu-satunya, sebab tak jauh dari sana, beberapa masjid pun masih setia dengan kulah yang kini diberi keramik dan perselen sehingga lebih cantik. Posisinya pun tidak lagi di halaman masjid, tapi di bagian toilet yang tertutup.

Tradisi membuat kulah di masjid-masjid di Nusantara, tampaknya dipicu oleh kebiasaan masyarakat Muslim masa lalu yang terbiasa tak beralas kaki kemana-mana, termasuk bila datang ke masjid. Nah, saat sampai di masjid, mereka bisa langsung wudhu sambil mencuci kaki di kulah. Hal itu dilakukan bersama-sama.

Soal hukum air, tidak banyak yang mempermasalahkan. Bagi warga Indonesia yang bermazhab Syafii, air dua kulah termasuk air yang boleh digunakan untuk berwudhu. Pasalnya, Nabi juga pernah wudhu dengan air satu gayung. Ya, tapi jika merasa ragu dan kurang terbiasa, gunakan saja air keran. Praktis. (IMF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *