[JAKARTA, MASJIDUNA] — Munculnya gagasan penyatuan kalender Islam secara global dalam Seminar Internasional Penyatuan Kalender Hijriyah di Turki 28-30 Mei 2016 silam, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggandeng berbagai ormas Islam di Indonesia untuk melakukan dialog bersama, pada Jumat (6/9).
Bertempat di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah Jakarta, hadir perwakilan Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), OIF UM Sumatera dan Jakarta Islamic Center. Setelah itu digelar Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertemakan “Kalender Islam Global dan Pencerahan Peradaban”, Jumat (6/9)
Selain sebagai wadah silaturahmi, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Syamsul Anwar menilai diskusi ini sebagai bentuk pelaksanaan amanat Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 2015 pada bagian Muhammadiyah.
Selain itu isu-isu strategis dan keumatan butir ke-6 mengenai Penyatuan Kalender Islam Internasional yang menyuratkan pentingnya umat Islam sebagai umat yang satu (ummatan wahidah) memiliki pedoman kalender secara internasional yang sama.
Menurut Syamsul, penyatuan Kalender Islam secara internasional tak saja menyatukan berbagai masalah administratif-duniawi dan ibadah, namun juga sebagai langkah penyatuan umat. Begitu Syamsul punya pandangan sebagaimana dikutip MASJIDUNA dari laman Muhammadiyah.
“Kita merasa punya hutang peradaban, sudah 1500 tahun peradaban Islam tapi tidak punya kalender, sehingga kita semacam umat yang tidak punya perhatian terhadap waktu,” katanya.
Menurutnya, Kalender Global harus lintas kawasan, tak saja di satu wilayah. Contoh, pada hari wukuf di Arafah, di seluruh dunia mengamalkan puasa, pada yangwaktu sama (tanpa melihat hilal). Artinya, Kaya Syamsul, metode rukyat itu tidak bisa mengcover seluruh dunia. Sebab rukyat hilal itu bisa terlambat dari satu tempat ke tempat lainnya,” ujarnya.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dadang Kahmad menyayangkan umat Islam yang masih tidak memiliki Kalender Hijriyah Global meskipun peradaban Islam telah berlalu 1500 tahun. Menurutnya, sejak Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015 telah memberikan perhatian terhadap pentingnya unifikasi ataupun penyatuan kalender Islam secara global.
“Sebab selama ini kalender Islam yang digunakan masih bersifat zonal, yakni setiap negara memiliki kalender Hijriyah sendiri-sendiri,” ujarnya.
Dia berpandangan, ketiadaaan kesepakatan terhadap Kalender Hijriyah Global membuat adanya perbedaan hari-hari keagamaan Islam antara satu dengan tempat yang lain. Meski begitu, Dadang mengimbau agar tetap berhati-hati menyikapi perbedaan untuk dapat disatukan dalam penyatuan kalender hijriyah
“Saya kira jika metode penentuan Hijriyah antara menghitung dan melihat disampaikan dengan tiga hal itu pasti juga akan sampai,” ujarnya optimis.
Ketua The Islamic Science dan Riset Network, Prof. Tono Saksono berpendapat, hambatan terbesar kesadaran umat terhadap Kesatuan Kalender Islam Global muncul dari kelompok tradisionalis. Sebab mereka masih keukeuh mempertahankan penentuan bulan berdasarkan penglihatan mata telanjang, kendati ilmu teknologi dan astrologi sudah berkembang sedemikian pesat. [AHR]