[JAKARTA, MASJIDUNA]—Fenomena keberagamaan masyarakat di tanah air sering menjadi sorotan dunia. Mulai dari merebaknya konflik yang membawa agama, aksi intoleransi dan radikalisme. Pada saat yang sama, muncul kelompok liberal yang mengecam cara orang Indonesia dalam beragama. Di sisi lain, ada gejala anak muda perkotaan yang hijrah dengan mengubah cara penampilan dan perilaku demi mendekati kepada ajaran agama. Bagaimana pandangan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin terhadap gejala tersebut? Apa pula komentarnya soal tudingan membela LGBT?
Di ruang kerjanya, alumni Pondok Pesantren Gontor Ponorogo ini, menerima Redaksi MASJIDUNA untuk wawancara selama satu jam. Mengenakan batik lengan panjang dan sandal kulit hitam, dia tampak rileks. Berikut petikannya:
Dalam beberapa tahun terakhir, Anda sering mengusung moderasi Islam. Apa latar belakangnya?
Memang dalam dua atau tiga tahun belakangan saya secara sengaja gaungkan istiah moderasi beragama. Bukan moderasi agama, ya. Karena agama Islam itu kan moderat, sempurna. Latar belakangnya, saya ingin Islam di Indonesia yang semakin diperbincangkan ini, tidak disalahpahami. Sebab saat ini ada dua kutub ekstrim. Ekstrim artinya berlebihan dalam memahami ajaran.
Dua kubu itu, ada saudara kita yang memahami teks agama. Memang ajaran tidak bisa lepas dari teks. Quran dan hadits berupa teks, karena kita memang tidak sezaman dengan Nabi. Jadi, rujukan orang beragama itu teks. Inilah satu pandangan yang terlaku tekstualis, tidak hanya konservatif tapi ultrakoservatif. Terlalu mendewakan teks. Sehingga memahami ajaran tak mau keluar dari teks, tak mau lihat asbabun nuzul, asababul wurud. Misalnya, sesuai bunyi teks: “Siapa yang tidak berhukum yang datangnya dari Allah itulah kafir”. Karena Pancasila dan Undang-undang Dasar itu buatan manusia, kafir semua. Bahkan dalam pandangan mereka, bukan hanya harus ditolak tapi diperangi. Lalu ada paham Pancasila itu thagut.
Di sisi lain ada liberalisasi, yang sangat mendewakan akal pikiran. Sehingga tercabut dari teks dalam memahami ajaran. Pengamalannya juga terlalu bebas dan liberal. Nah, setiap kutub ini niatnya mau mengajak satu kepada yang lain, tapi sebenarnya saling menguatkan. Orang makin konservatif karena ada ancaman kaum liberal. Sementara kaum liberalis semakin ingin mendakwahkan liberalismenya karena ada ancaman kaum konservatif. Saya merasa ini perlu dimoderasi. Yang kita moderasi itu cara kita beragama, yaitu jangan berlebihan.Sebutannya macam-macam, bisa Islam Washatiyah, Islam Nusantara kata orang NU dan Islam berkemajuan kata Muhammadiyah.
Saat ini ada juga fenomena hijrah, tapi dituding berkedok radikalisme. Anda melihatnya seperti apa?
Untuk menjawab itu, ada yang bertanya ke saya. Apa batasannya orang dianggap washatiyah ini? Ekstrim itu apa batasannya? Ada tiga point batasannya. Pertama, kemanusiaan. Karena esensi Islam itu salam, damai. Semua ibadah mahdoh, sependek pengetahuan saya, adalah menjaga harkat dan martabat manusia. Jadi kalau ada orang atas nama agama, HAM, atau atas nama apapun, yang menyebabkan derajat kemanusiaan tergerus atau hilang sama sekali itu sudah berlebihan. Karena tidak ada ajaran Islam yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan. Sebaliknya Islam menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, tidak mengingkari kesepatan bersama. Islam itu menghormati kesepakatan bersama.Kenapa penting? Karena kita beragam, maka konsensus tidak terhindarkan. Karena cara pandang masyarakat. Manusia beda jenis kelamin saja yang berjanji sehidup semati harus diikat dalam akad nikah. Akad itu misyakon gholido, ikatan kokoh. Itu baru dua orang saja ada konsenus. Karena perbedaan, harus ada konsensus. Setiap muslim harus tunduk pada kesepakatan bersama.
Kalau ada orang atas nama HAM atau apapun, tapi mengingkari kesepakatn bersama, buat saya itu sudah ekstrim. Karena kita sudah tunduk pada kesepakatan bersama, Pancasila atau konstitusi. Lalu kita mau secara sepihak menentang itu? Iitu ekstrim. Tempuh dengan cara konstitusional. Jangan keluar dari kesepakatan.
Ketiga, tidak menimbulkan gangguan ketertiban umum. Karena agama hadir untuk menjaga ketertiban umum. Setidaknya, tiga perkara ini yang harus ada.
Soal fenomena hijrah di kalangan masyarakat?
Nah soal hijrah, apakah membuat lebih baik atau tidak? Sekarang yang viral itu saya berhijrah, sebagai suami saya tidak mau kerja di bank riba. Saya jadi ikut pengajian terus, itikaf terus, isteri jadi terlantar. Buat saya itu ekstrim. Kecuali hijrah menjadi harkat martabat dan lingkunganya lebih baik. Kalau hijrah jadi ekslusif, mengaku paling benar, itu berlebihan.
Nah, tapi kita jangan mengucilkan, kita rangkul, kita bawa ke tengah. Sama dengan sikap saya terhadap LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender). Jelek-jelek saya ini lulusan pesantren. Jelas LGBT sudah sepakat di kalangan ulama, tidak dibenarkan. Tapi karena kita tahu itu tidak benar, tidak boleh dikucilkan. Mereka butuh uluran tangan kita.
Yang kita upayakan ajak kembali ekstrimitas perilakuanya, buka pelakunya. Dari situ seakan saya bela LGBT. Padahal, yang saya bela manusianya. Islam agama kemanusiaan. Orang berjudi, mabuk, narkoba kan yang kita perangi perilakunya yang terjerumus maksiat.
Bagaimana dengan pandangan sekelompok orang bahwa bersyariah juga merupakan pengamalan Pancasila. Misalnya NKRI atau Pancasila bersyariah. Apakah itu berlebihan?
Mari kita kembali ke substansi ajaran Islam: kemanusiaan, kebersamaan, dan membangun kesepakatan bersama. Selama pemahaman itu tidak mengusik, itu baik. Tapi kalau sudah mengancam atau mengingkari, itu berlebihan. Misalnya, mau menggunakan kata ”NKRI Bersyariah”, apa yang mau diterapkan? Misalnya orang pakai celana cingkrang, pakai cadar, selama tidak menganggu ketertiban umum, its OK. Itu hak yang harus dihormati. Tapi Kalau menggunakan cadar atau atribut apapun dan menimbulkan gangguan ketertiban umum, misalnya, di kampus atau di sekolah, penguji atau dosen atau guru tidak tahu ini murdi yang benar-benar atau joki. Ini jadi menimbulkan mudharat, ini juga berlebihan. Tapi kalau gunakan cadar tidak ganggu ketertiban umum, harus dihargai sebagai cara dia mengamalkan ajaran agama. Pintunya di situ,tidak menimbulkan goncanag di masyarakat atau tidak menyalahi kesepakatan bersama.
Saat ini sering terdengar tudingan komersialisasi agama dan beragama overdosis. Menurt Anda, fenomena beragama kita sekarang seperti apa?
Kita harus pahami realitas masyakat Indonesia yang khas dalam relasinya dengan agama. Kita dikenal sebagai bangsa yang sangat relijius dibandingkan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita bangsa yang tidak bisa melepaskan aktivitas sehari-hari dari nilai-nilai agama. Apapaun suku kita dan dimana kita tinggal. Ikatan kita dengan agama kuat sekali sejak ratusan tahun. Lihat saja local wisdom, ada kaitan dengan agama.
Tapi sekarang sangat transparan karena ada sosial media, termasuk transparan melihat kegamaan. Oleh sebagian kalangan agama kemudian dijadikan komoditas. Inilah yang oleh sebagian kalangan dikapitalisasi, bisa bermakna positif , syiar dakwah ada di mana-mana. Sekarang anak muda punya minat agama lebih besar dari orang tua. Tapi ada sisi negatifnya, ada komersialisasi, agama diperdagangkan. Itu tidak terelakan. Realitas agama pada bangsa ini yang tak terpisahkan dan transparansi.
Sebagian kalangan memanfaatkan untuk berbagai kepentingam ekonomi, politik, pengerahan massa. Lagi-lagi moderasi agama jadi penting. Sederhananya, karakter agama kuat sekali. Apapun atas nama agama, nyawa sendiri atas nama agama dikorbankan.Kekuatan ini harus tidak tercerabut pada esensi agama. Jadi, semua postif bagi kemanusiaan.Bukan agama jadi alat untuk saling menegasikan, destruktif.
Bagaiamana dengan kondisi toleransi beragama di tengah masyarakat saat ini?
Saya termasuk yang optimistis kita masih memegang nilai-nilai toleransi sebagaimana pendahulu kita. Hanya sekarang ini, muncul letupan di tempat tertentu praktek intoleran. Dua penyebabkan,kompetisi dan dunia yang makin mengglobal. Dulu berkompetisi antar RT, antar kampung. Sekarang antar bangsa.Kompetisi hidup makin ketat dan perkembangan IT (Informasi dan Teknologi), sehingga kejadian apapun cepat diketahui. Sehingga praktek intoleransi menjadi terlihat di depan mata. Bukan berarti dulu nggak ada. Kejadian di Papua atau Kupang dulu siapa yang memberitakan? Bukan berari saya tutup mata. Tapi saya ingin kedepankan rasa sykur bahwa kita bangsa besar masih mempraktekan hidup rukun berdampingan.
Kemarin misalnya, Masjid Darusalam di Cempaka Putih, Jakarta, menyediakan halaman untuk pemulasaraan jenazah (kejadian ini kemudian viral di medsos, red). Kita masih mempraktekan itu. Nah,praktek intoleransi itu kan tidak normal. Sementara media mencari sensasi. Sensasi itu tidak normal. Kalau anjing gigit orang kan biasa, yang news itu orang gigit anjing. Tone-nya kan jadi negatif, karena di luar kebiasaan, di luar kewajaran. Maka warna negatif mengemuka, seperti semakin banyak kejadiannya. Tapi saya tetap optimistis di tengah keberagaman, kita masih menjaga toleransi. (IMF)