[JAKARTA, MASJIDUNA]—Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa telah merilis fatwa terbaru tentang pengawetan dan distribusi daging kurban dalam bentuk olahan. Fatwa Nomor 37 Tahun 2019 tersebut ditetapkan di Jakarta sejak Rabu (7/8) lalu.
Dalam fatwa tersebut, MUI membolehkan distribusi daging kurban dalam bentuk olahan dan diawetkan. Hal ini untuk mengoptimalkan nilai manfaat daging kurban tersebut, sebagaimana tercantum dalam fatwa yang ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa Prof Dr H Hasanuddin AF, MA
dan Sekretaris Dr HM Asrorun Ni’am Sholeh, MA itu.
Dalam pertimbangan hukum disebutkan bahwa pada prinsipnya, daging hewan kurban disunahkan untuk:
a. Didistribusikan segera (ala al-faur) setelah disembelih agar manfaat dan tujuan penyembelihan hewan kurban dapat terealisasi yaitu kebahagian bersama dengan menikmati daging kurban.
b. Dibagikan dalam bentuk daging mentah, berbeda dengan aqiqah.
c. Didistribusikan untuk memenuhi hajat orang yang membutuhkan di daerah terdekat.
- Menyimpan sebagian daging kurban yang telah diolah dan diawetkan dalam waktu tertentu untuk pemanfaatan dan pendistribusian kepada yang lebih membutuhkan adalah mubah (boleh) dengan syarat tidak ada kebutuhan mendesak.
- Atas dasar pertimbangan kemaslahatan, daging kurban boleh (mubah) untuk:
a. Didistribusikan secara tunda (ala al-tarakhi) untuk lebih memperluas nilai maslahat.
b. Dikelola dengan cara diolah dan diawetkan, seperti dikalengkan dan diolah dalam bentuk kornet, rendang, atau sejenisnya.
c. Didistribusikan ke daerah di luar lokasi penyembelihan.
Dengan demikian, daging kurban bisa diawetkan seperti dikemas dalam kaleng atau dibuat rendang. (IMF).