Kaum Sufi dan Politik Hingar Bingar

Masjiduna.com--Di tengah hingar bingar kampanye dan jelang pemilihan presiden pada 17 April mendatang, sebuah berita yang tidak bombastis muncul, yaitu berkumpulnya para sufi dunia di Pekalongan, Jawa Tengah, dalam forum yang dinamakan World Sufi Forum, yang berlangsung pada Senin (8/April) hingga Rabu (10/April). Kabar ini memang tidak semeriah muktamar ormas Islam, juga tidak sekencang kasus dugaan jual beli jabatan di Kementerian Agama. Karena itu tidak banyak puka media yang mengangkat.

Namun, acara yang dibuka oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu ini, terbilang istimewa sebab menghadirkan tokoh sufi dari berbagai belahan dunia seperti  Syaikh Abu Al Fadhl Ahmad bin Manshur Qartham (Palestina), Syaikh Muhammad Adnan Al Afyouni (Syiria/Mufti Damaskus), Dr. Riyadh Hasan Bazou (Libanon), Syaikh Mahmoud Yasin At Tuhami (Mesir), Syaikh Abubakar Ahmad (India), Syaikh Dr Khalid Sana (Burikna Faso), Syaikh Prof. Dr. Muhammad bin Braykah Al Hasani (Aljazair), dan Syaikh ‘Aun Mu’in Al Qaddumi (Yordania).

Dalam sambutannya, Ryamizard mengatakana bahwa para ulama sufi adalah penggerak nasionalisme di tanah air.  “Ajaran para ulama tarekat menjadi akar tumbuhnya nasionalisme dan bangkitnya perlawanan terhadap (kolonialisme) Belanda,” jelasnya.

Karena itu, Menhan berharap hal tersebut dapat diteruskan oleh ulama tarekat saat ini. “Ulama tarekat harus berada paling depan untuk menjaga rumah kita yaitu NKRI yang tercinta ini,” katanya.

Namun bagi sebagian masyarakat muslim, ada anggapan bahwa para sufi adalah mereka yang menjauhkan dari kehidupan dunia, bertafakur dalam zikir, dan enggan turut campur dalam urusan dunia apalagi masalah politik. Jadi bagaimana mereka mau membangkitkan perlawanan terhadap penjajah?

Memang dari sisi konsep, tasawuf sering diartikan upaya menjauh dari hiruk pikuk dunia. Namun dalam praktek para ahli tasawuf sejak ratusan tahun silam, mereka justeru adalah sosok-sosok yang seringkali memberikan masukan bahkan kritik keras kepada para raja dan penguasa. Terutama para penguasa yang dzalim.

Hujatul Islam Imam Al Ghazali bahkan pernah mengumpulkan surat-surat yang khusus ditujukan kepada para penguasa kala itu. Salah satunya surat berisi pesan menggembarkan untuk Raja Andalusia, Raja Maghribi Yusuf Ibnu Tasyfin.

Kisah itu bermula saat Al Ghazali risau dengan kekalaha dan penderitaan kaum Muslimin di Andalusia. Ulama yang berprinsip seornag umara harus memperhatikan kesejahteraan dan keamanan rakyat itu langsung mengirim surat pada sang raja.

Isi surat yang dikirimkan Iman Al-Ghazali cukup membuat orang yang membacanya gempar.

” Pilihlah salah satu di antara dua, memanggul senjata untuk menyelamatkan saudaramu-saudaramu di Andalusia atau engkau turun tahta untuk diserahkan kepada orang lain yang sanggup memenuhi kewajiban tersebut.”

Begitu pula dengan Jalaluddin Rumi, sang Sufi Cinta ini, punya peran penting dalam menciptakan konsep damai bagi manusia tanpa sekat suku dan agama. Bahkan pada tahun 2007 silam, lembaga Pendidikan di bawah PBB (Unesco) menetapkan tahun 2007 sebagai “Tahun Rumi Internasional”.  Rumi dianggap sebagai salah seorang tokoh spiritual terbesar sepanjang massa karena pesan-pesan moral yang diajarkannya.

Dalam salah satu karyanya, Fihi Ma Fihi, terlihat jelas bagaimana seorang sufi memandang dunia. Dia tidak membencinya, tapi tidak diperbudak oleh dunia. Begini Rumi mengatakan:

“Manusia harus menghindari kesenangan dan kenikmatan dunia yang hanya merupakan pancaran dan pantulan Allah. Manusia tidak boleh puas dengan kondisi itu. Meski kondisi itu merupakan pancaran dan pantulan  Allah, ia tidak abadi. Kekal bagi Allah, namun tidak kekal bagi manusia. Seperti pancaran sinar matahari yang menerangi rumah-rumah. Ia pancaran dan cahaya matahari, selalu bersama matahari. Saat matahari terbenam, cahaya ikut terbenam. Sebab itu, kita selayaknya menjadi matahari hingga tidak ada lagi kekhawatiran dan perpisahan.”

Sufisme dalam Islam pernah mengalami kejayaan di abad pertengahan. Tapi kemudian meredup dan dianggap dekat dengan praktek mistik. Saat ini, tasawuf dalam Islam dan para tokohnya pun hanya terdengar lamat-lamat. Mereka seringkali seperti tak dianggap mewakili semangat Islam. Maklum, yang ramai ormas dan partai politik Islam. (imf).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *