1 Syawal: Antara Kepatuhan dan Kejengkelan

[JAKARTA, MASJIDUNA]—-Sidang isbat yang digelar oleh Kementerian Agama akhirnya memutuskan bahwa 1 Syawal 1441 Hijriyah jatuh pada Minggu (24/5/2020). “Sama dengan Arab Saudi,” kata Menteri Agama Fachrul Razi, Jumat malam (22/5/2020).

Sidang yang berlangsung tertutup dan dilakukan secara virtual bersama sejumlah ormas Islam ini, juga dihadiri oleh perwakilan Komisi VIII dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sebelum dan sesudah sidang, pesan yang paling banyak disampaikan adalah pentingnya salat Idul Fitri di rumah, jaga jarak dan tidak mudik.

Abdullah Jaidi dari MUI, misalnya, dengan tegas menyampaikan pesan yang sudah tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 28 tahun 2020. “Salat Idul Fitri itu bukan dilarang, tetapi kita mengindahkan kaidah darul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih. Kita menghindarkan kerusakan, menghindarkan kemudaratan daripada mengambil kemaslahatan,” katanya.

Senada disampaikan oleh Fachrul Razi. “Kami imbau, untuk salat Idul Fitri yang biasanya dilaksanakan di masjid atau di lapangan ditiadakan. Cukup dilaksakan di rumah,” kata Menag.

Dia juga berharap kegiatan takbiran tidak dilakukan di luar rumah. “Takbiran cukup dilakukan bersama-sama di rumah, atau di masjid dengan pengeras suara dan menerapkan protokol kesehatan,” ujarnya.

Sebelumnya, para pejabat dan para ulama juga meminta agar mudik tidak dilakukan agar tidak menyebarkan wabah corona kepada anggota keluarga. Mudik, yang menjadi tradisi umat Islam jelang lebaran, terpaksa dilarang.

Meski secara umum umat Islam menaati anjuran dari pemerintah dan para ulama, namun ada juga yang mengabaikannya. Misalnya, dalam soal mudik masih banyak yang berusaha lolos menghindari chek point. Begitu pula dalam soal salat Idul Fitri, ada beberapa daerah yang ngotot tetap ingin melaksanakan dengan alasan masuk zona hijau alias aman. Misalnya di Probolinggo (Jawa Timur), Karang Anyar (Jawa Tengah) dan sebagian Bekasi (Jawa Barat). Apakah mereka tak taat pemerintah dan ulama? Sulit untuk menyebut mereka nekat atau ngeyel.

Tapi pastilah mereka memiliki alasan. Seperti banyak disampaikan para pengamat sosial dan budaya, bisa jadi karena pengambil kebijakan tidak tegas dan tidak konsisten dalam mengambil keputusan. Moda transportasi yang masih bisa melenggang, pasar, mal dan bandara yang masih tetap padat, bukan mustahil menjadi contoh buruk ketidakpatuhan atas anjuran pemerintah dan ulama. Apalagi narasi “pelonggaran”, “relaksasi” dan “berdamai dengan corona” disampaikan pemerintah.

Umat bisa jadi jengkel. Tapi, perlu juga diingat pesan dai KH Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym, bahwa kejengkelan tidak boleh dibalas dengan kejengkelan. Wabah ini perlu ditangani serius, bukan dengan sikap santai apalagi jengkel.

(IMF/foto:iGlobalNews)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *